Angkringan menjadi salah satu tempat makan dan nongkrong yang favorit di Yogyakarta. Selain karena harganya ramah di kantong, menu yang disediakan juga sesuai dengan lidah dan citarasa masyarakat pada umunya. Nasi kucing (nasi yang dibungkus dengan porsi kecil), gorengan, kacang goreng, aneka tusuk sate (jeroan, usus, ayam, dan kikil), dan kerupuk. Menu minumnya juga terbilang lengkap, sebut saja es teh, jeruk anget, wedang jahe, susu jahe, dan kopi panas.
Di beberapa angkringan memang menyediakan menu spesial yang tidak tersedia di angkringan lainnya. Misalnya angkringan di sekitar Stasiun Tugu Yogyakarta yang terkenal dengan menu kopi joss-nya. Bagi yang belum tahu, kopi joss ini bukan kopi yang diseduh dan diminum dengan lantunan dangdut, tuk gendang josss. Melainkan kopi yang diseduh dan disajikan dengan arang panas menganga. Bisa dijamin panasnya lebih awet tahan lama.
Ada juga salah satu angkringan favorit saya di belakang kampus pasca-sarjana Universitas Islam Indonesia. Tempat angkringannya kecil. Bahkan jika dilihat dari kejauhan malah terkesan kumuh. Tapi jangan salah, pelayanannya melebihi restauran yang lokasinya di dalam mall atau rumah makan di dalam hotel.
Nama pemiliknya Pak Slamet. Ia berjualan di situ sejak kecil. Katanya, “Wis suwe mas. Dulu saya ke sini ikut bapak. Bapak sekarang sudah tidak ada, yawis saya yang melanjutkan”.
Ia menaksir bapaknya mulai berjualan di situ pada tahun 1995-an. Saat saya tanya kenapa memilih tempat di situ? Padahal tempatnya tidak dilalui oleh orang riuh berlalu-lalang. Apalagi pada saat tahun 1995, bukankah tempat itu masih dalam bentuk ladang tebu yang masih dikelola swasta. Ia hanya menjawab sekadarnya. “Ya gimana mas. Rejekinya di sini. Nanti kalau pindah, malaikat pembagi rezekinya bisa bingung, ‘lha ini mau tak kasih rezeki ke mana orangnya’”, jawabnya sambil senyum nyengir.
Setiap harinya ia harus pulang-pergi dari Bayat, Klaten ke Yogyakarta. Ia tidak ngekos atau ngontrak. Berangkat jam empat sore, sampai Yogyakarta magrib kemudian menata dagangannya. Habis magrib pembeli sudah berdatangan sampai tutup angkringan usai shalat subuh. Hampir setiap hari ia melakukan pola kerja seperti itu. Hanya saja uniknya, ia memilih libur suka-suka. Kalau kepingin libur, ya libur. Bahkan kemarin saat hari raya Idul Fitri dan sedang marak-maraknya pandemi Covid-19, ia tetap berjualan.
Perawakannya Pak Slamet ini kecil. Suatu ketika saat saya mampir di angkringannya, kebetulan sepi pelanggan, ia bercerita saat masa mudanya yang kelam. Ia mengaku, dulu hampir di setiap malam mabuk. Kerja tidak, ibadah apalagi. Kadang-kadang ia juga ikut tawuran, bahkan tanpa tahu sebab musababnya satu tonjokannya pernah didaratkan di wajah seseorang yang tidak ia kenal. “Wis pokok egak jelas banget mas uripku ndisek”, ucapnya sembari mengambil tahu goreng.
Nah, (sampai lupa) salah satu menu andalan di angkringannya ini ialah tape susu, baik hangat maupun es. Banyak pembeli yang tiap malamnya antri membeli minuman ini. Harganya cukup ramah dan murah. Tape tanpa susu hanya dua ribu rupiah, kalau mau ada susunya tinggal ditambah lima ratus rupiah. Dan hanya karena minuman ini banyak orang yang rela mengantri dan kecewa karena habis tidak kebagian.
Dan sampai hari ini, angkringan Pak Slamet masih tegak berdiri berjualan melayani ragam pembeli. Dua poin yang perlu digarisbawahi; Pertama rezeki itu diberi tidak tergantung di mana dan siapanya, tapi dari ikhtiar yang serius sembari memohon kemurahan hati-Nya. Kedua, tiap orang akan mau mengakui masa kelam dan curamnya saat bertemu dengan orang yang pas sekaligus ditopang situasi yang kondusif. Dan di poin kedua ini saya mungkin bukan orang yang pas, tapi saat saya mampir ke angkringannya, situasinya memang sangat-sangat kondusif untuk membeberkan cerita kelamnya. Demikian.
10 komentar:
Setuju sekali, yang penting usaha, rezeki ada yang ngatur...
Enggeh pak, leres niku...
Dari mana saja termasuk angkringannya p. Slamet kita bisa dapat ilmu kehidupan,..dari catatan harian p. Sugeng kita serasa ikut di jogja
maturnuwun bu sudah mampir dan memberi apresiasi positif
Samarkulo yang diangkat masakane... Jadi penasaran rasane.
Banyak pengalamannya mas....
Keberhasilan usaha seseorang bukan karena jenis makanan yg dijual...
Tapi karena istiqomah dan ikhtiyarnya...
Masakane malah namung nasi kucing kaleh indomie bu, lain waktu kulo ulas maleh
Malah niki tasek pados pengalaman pak 🙏🙏
Enggeh pak, leres niku.
Posting Komentar