Kamis, 03 September 2020

Avatar Facebook Kita

 

Belakangan ini beranda facebook saya disesaki oleh gambar avatar teman-teman saya. Ada yang membuat lebih dari satu dengan pose, pakaian, wajah, dan warna yang berbeda-beda. Hampir separuh lebih teman saya di facebook merayakan fitur avatar ini.

Sekitar dua hari yang lalu, saya tidak terlalu ngeh ketika ada salah seorang mengunggah gambar avatarnya. Tidak tanggung-tanggung, ia langsung mengganti foto profilnya menjadi avatar yang telah dibuatnya. Saya hanya melihatnya seperti angin lalu.

Tapi malam harinya beranda facebook saya sudah penuh dengan status dan gonta-ganti foto profil dengan avatar itu. Mereka saling memberi like dan berkomentar.

Awalnya saya bertahan dengan tidak ikut-ikutan membuat. “Halah, gek opo ngunu kui ki”, batin saya menguatkan. Namun sayang, sebagai manusia normal yang memiliki keinginan seperti liyane, saya pun jadi ikut-ikutan membuat avatar.

Setidaknya sampai tiga kali saya membuatnya. Pembuatan yang pertama saya merasa terlalu cakep melebihi yang asli. Kulit putih, rambut lurus, wajah tanpa noda. Dan hasil avatar awal mula ini malah tidak membuat saya puas. Alih-alih ingin mengunggahnya ke beranda facebook, saya malah merasa seperti menipu diri sendiri. Duh, di titik ini jiwa sholehah, eh sholeh saya agak muncul, hehehe.

Satu jam setelahnya saya kembali membuat avatar untuk kedua kalinya. Kali ini wajahnya masih persis, hanya kulitnya saya ubah agak coklat dan rambutnya dari lurus menjadi ikal. Saya merasa sudah agak mirip seperti aslinya. Tanpa basabasi langsung saya unggah ke beranda facebook. Beberapa sudah menaruh like.

Sesaat setelah itu saya melihat avatar milik teman saya lebih sholeh. Avatarnya memakai topi dan pakaian agama. Secepat kilat saya membuat lagi dengan mencari tahu dimana letak fitur editnya. Akhirnya ketemu. Dari situ, saya kembali membuat avatar baru yang saya edit sana-sini supaya sesuai dengan representasi penampilan luar saya.

Sekitar lima menit berlalu, avatar itu pun sudah siap diunggah di beranda facebook. Sebelum diunggah, saya merasa avatar ini masih terlalu cakep. Tapi ya tidak apa-apa, namanya buatan manusia kadang cakepnya melebihi si pembuatnya. “Kae mau salah. Ternyata lagi dong ono fitur editnya. Arep diece kok ganteng avatar e ketimbang aslinya? Ya wis men. Ancen avatar e efak pernah sambat ditinggal dekne kok e”, caption saya membarengi kemunculan avatar itu di beranda facebook. Avatar yang sebelumnya saya hapus.

Status itu memicu beberapa teman berkomentar, mulai dari ketawa sampai menimpalinya dengan komentar yang serius. Ya semacam komentar yang membuat kepala mengernyitkan dahi baru bisa membalasnya.

Tapi saya hanya membalas seadanya, kemudian kembali melihat status-status lain yang muncul di beranda facebook saya. Dari sekian status yang saya lihat, ada satu status dari suster Arlena Arifin yang menurut saya relevan untuk memotret fenomena avatar-avatar yang memadati beranda facebook tiap orang hari ini. Di statusnya ia mengatakan, 

Permainan avatar itu seperti mewakili ego kita. Kita bisa menggambarkan bentuk dan keinginan kita sendiri.

Ya memang kita bisa membuat dan mengedit avatar sesuka kita. Kulit gelap diubah menjadi bersih, mata sipit menjadi lebih lebar, dan bahkan bisa menambah atribut keagamaan yang sebenarnya jarang kita pakai di dunia nyata. Avatar itu selain mewakili ego, mungkin juga sebagai tempat untuk melarikan diri dari kenyataan yang kerap menyudutkan kita.

Saya misalnya. Saya aslinya memiliki kulit gelap dan berambut keriting. Melalui avatar itu, saya bisa membuat sesuai keinginan dengan kulit yang putih-bersih dan rambut lurus. Setelah jadi, dengan kepercayaan diri saya mengunggahnya di beranda untuk memperoleh like dan komentar.

Atau yang biasanya tidak memakai jilbab. Ia kemudian membuat avatar berjilbab dan digunakan sebagai foto profil. Secara sangat sederhana, avatar di facebook ini bisa didedah panjang lebar menggunakan teori simulacra-nya Jean Baudrillard atau semiotika-nya Rolland Barthes. Tapi saya cukupkan di sini saja.

Karena saya ingin kembali membuat avatar yang lebih cakep, keren, dan ganteng, hehehe.

2 komentar:

prianto mengatakan...

Harus mengikuti perkembangan pak sugeng

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Enggeh pak leres, melek kayak kancane😆