Rabu, 02 September 2020

Beban Anak (per)Kota(an)

 

Pagi tadi ketika saya ke burjo (warung makan yang dikelola orang-orang dari daerah Kuningan) untuk mencari sarapan, saya mendapati anak menangis tersedu-sedu di bahu jalan. Ia seperti orang yang baru melarikan diri dari rumah.

Dari kejauhan saya melihat seorang perempuan yang datang tergopoh-gopoh membawa penggaris menuju ke arah anak itu. Mungin saja ia ibunya, atau malah bukan. Tangannya diacung-acungkan sembari teriak, “Pulang tidak kamu. Waktunya sekolah malah mau main”.

Sepintas saya melihat perempuan itu mendaratkan satu cubitan di lengan anak itu. Dan sesegera mungkin menarik –dengan setengah diseret- anak itu untuk kembali ke rumah, menjauh dari burjo lokasi saya sarapan. Dari jauh saya mendengar suara samar-samar anak itu mengatakan, “Bosan, aku ingin main.”

Orang yang duduk di kanan saya spontan memberi komentar yang menurut saya cukup relevan. Katanya, “Ya sekali-sekali main tidak apa-apalah. Kalau di rumah terus ya suntuk. Yang sudah dewasa saja kalau seminggu penuh di rumah terus ya stres kok. Kok egak ngesakne”.

Memang masa pandemi covid 19 yang terus merangsak naik ini, membuat siapa saja tidak leluasa bepergian, termasuk sekolah dan bermain. Segala protokol kesehatan wajib dipenuhi. Mandi dan mengenakan pakaian yang bersih, cuci tangan baik sebelum atau setelah beraktifitas, memakai masker untuk mencegah penularan melalui saluran pernafasan, dan tidak sembarang menyentuh benda-benda lain. Meskipun di banyak daerah, tempat wisata, warung kopi, pusat perbelanjaan, pusat peribadatan, dan tempat nongkrong lain sudah diumumkan dibuka dan boleh dikunjungi.

Nah dari kejadian anak di atas, saya ingin mengetengahkan beberapa persoalan. Pertama, bicara soal dunia anak, tidak bisa lepas dengan dunia bermain. Apa pun, kapan pun, dan dimana pun anak berada, di situlah ia bisa merubah sesuatu menjadi arena bermain. Walaupun anak cenderung kerap bosan juga jika permainannya hanya itu-itu saja.

Terlebih lagi jika permainan anak ini dibatasi, entah dari sisi waktunya, dengan siapa ia bermain, dan dimana lokasi bermainnya. Pembatasan ini juga membuat anak kehilangan mood. Dan ini lazim ditemukan pada anak-anak yang hidupnya di kota.

Dulu sebelum pandemi covid 19 datang, pola bermain di rumah oleh anak-anak kota ini terlihat normal saja. Sebab mereka masih bisa bertemu dengan temannya di sekolah. Mereka bisa berlarian, makan bersama, main bola bersama, ngobrol, tertawa, dan bercanda bersama teman-temannya di sekolah. Tapi sekarang sekolah libur.

Berbeda dengan anak-anak di desa. Jika sekolah libur seperti hari ini, mereka masih sering bersua dan bermain bersama. Sebab satu sekolah dasar di desa misalnya, mayoritas muridnya ya orang-orang yang mukim di dekat sekolah itu. Mungkin ada juga satu dua anak yang tinggalnya di luar desa. Coba bandingkan dengan sekolah dasar di kota. Satu sekolah dasar, siswanya bisa mencakup hampir di tiap desa yang ada di kecamatan atau kabupaten tersebut. Maka waktu dan tempat bertemu yang paling memungkinkan hanya di sekolah. Dan ini menjadi persoalan kedua.

Kemudian yang terakhir, psikologi anak agak terganggu. Kekerasan terhadap anak kemungkinan besar cenderung meningkat. Anak kerap menjadi sasaran omelan orang tua jika sewaktu-waktu menemui masalah. Kenapa? Karena sekolah online menuntut orang tua berperan aktif membimbing anak saat belajar. Tapi kadang yang luput diperhatikan biasanya orang tua juga memiliki kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Belum lagi jika orang tua kepikiran utang, dimarahi atasan, atau seabrek problem rumah tangga lainnya. Sedangkan di sisi lain, posisi guru di sekolah tidak bisa digantikan dengan posisi orang tua di rumah, sekalipun orang tuanya itu juga guru.

Ya akumulasi dari dibatasinya waktu dan ruang bermain, kemudian tidak bertemu dengan teman sepermainan, dan menjadi sasaran omelan orang tua ini membuat anak bingung tidak karu-karuan. Itu belum ditambah lagi dengan tuntutan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Kita boleh mengatakan juga bahwa beban dan risiko stress anak-anak di kota cenderung lebih besar ketimbang anak-anak di desa.

Saya membayangkan masa anak-anak saya ternyata lebih menggembirakan. Meski kerap dihukum, dijewer, dicubit, dan dimarahi ibu guru saat di kelas, tapi setidaknya, masa anak-anak saya tidak bertemu dengan kondisi mengerikan seperti sekarang ini.

Tidak ada komentar: