Jumat, 11 September 2020

Profesi Kelak Untuk Anak

Selama ini kalau kita melempar pertanyaan kepada anak-anak apa cita-cita yang diinginkan kelak setelah dewasa? Kebanyakan mungkin akan menjawab menjadi guru, dokter, pilot, polisi, atau tentara. Profesi-profesi yang dipilih ialah profesi yang berpakaian rapi dan mendedikasikan sebagian hidupnya untuk kepentingan orang banyak.

Persis seperti saya kecil dulu. Saat ditanya Bu Yuli, guru taman kanak-kanak saya, dengan lantang, tegas, dan tegap saya ingin menjadi polisi. Sampai-sampai sebagai pembuktiannya, saya emoh dirias sebagai raja yang memiliki sekumpulan prajurit saat karnaval di Bulan Agustus. Saya menangis sejadi-jadinya. Kalau tidak berseragam polisi, saya urung berangkat.

Akhirnya dengan agak kesal dan tiga cubitan mendarat di lengan, emak dan guru saya mengalah. Pakaian teman saya yang polisi pun dicopot kemudian dikenakan ke saya. Apesnya, tinggi dan lebar badan kami berdua tidak sama. Ia lebih gemuk, sedangkan saya kurus kering. Alhasil pakaian polisi itu menjadi sangat tidak pas dengan tubuh saya. Pun begitu pakaian raja yang dikenakan teman saya. Tapi saya tetap pede saja memakai, difoto, dan ditonton oleh banyak orang di sepanjang jalan.

Nah, yang menarik, kenapa bisa muncul jawaban dari anak-anak yang seperti itu? Ada dua kemungkinan yang muncul. Pertama, ada semacam persepsi yang telah ditanam sejak dini bahwa cita-cita yang bisa dijadikan rujukan ialah profesi yang berpakaian rapi dan necis. Sedangkan profesi seniman, penyanyi, artis, pesepak bola, dan seabrek profesi lainnya malah dikenalkan bukan sebagai profesi, melainkan hanya sebagai hobi.

Kedua, mental priyayi juga masih lestari ditanamkan. Beberapa orang tua masih menganggap bahwa pekerjaan dengan pakaian rapi dianggap memiliki status sosial yang tinggi. Wajar saja, jika kita berkaca pada misalnya momen kenduri atau ada acara pernikahan. Mereka yang profesinya perangkat desa akan mendapat tempat di depan meski datangnya belakangan, sedangkan pengusaha atau malah youtuber akan dipersilahkan memilih tempat duduk sesukanya, kecualai di depan. Padahal secara penghasilan dan properti yang dimiliki, youtuber lebih melimpah ruah ketimbang perangkat desa yang tiap bulannya harus pontang-panting menutup cicilan mobil.

Maka dari itu, perlu ada revisi perihal profesi yang hendak dikenalkan kepada anak-anak. Bahwa profesi yang baru, seperti youtuber dan semacamnya akan lebih diminati oleh anak-anak, saya kira wajar saja. 

Persis seperti syair Kahlil Gibran dalam bukunya The Prophet; Patut kau berikan rumah untuk raganya/tapi tidak untuk jiwa dan pikirannya//Sebab jiwa dan pikiran mereka ialah penghuni masa depan/yang tiada dapat kau kunjungi/sekalipun dalam impian.

Ya anak-anak penghuni masa depan. Mereka akan menemukan jalannya sendiri untuk sukses. Bisa jadi hari ini mereka masih senang bermain layang-layang, di masa depannya kelak menjadi pelukis yang harga per lukisannya menyentuh angka ratusan juta. Atau bisa juga mereka yang sekarang masih rajin belajar matematika, dikemudian hari ia malah menjadi pemimpin industri roti yang distribusinya sampai ke luar negeri.

***

Tulisan sederhana ini muncul dari obrolan saya dengan Pak Kusno, profesinya sebagai tukang becak. Sebelumnya ia menjadi guru honorer di sekolah swasta di daerah Bayat, Klaten. Karena kebutuhan keluarga semakin tinggi, dan gajinya tidak mencukupi, akhirnya ia memilih merantau ke Yogyakarta. Singkat cerita ia ingin anaknya menjadi guru atau kepala sekolah kelak dengan cara menyekolahkan setinggi-tingginya dengan dana yang ia peroleh semampunya.

Namun fakta berbicara lain. Dua anaknya malah tidak sesuai dengan harapannya. Anak yang pertama bekerja di kantor jasa di Kanada, dan anak yang kedua menjadi staff di Kementerian Sosial di Istana. Dan saat tanya kenapa ia masih tetap ingin menjadi tukang becak, dengan santai ia menjawab, “Ya kalau di rumah terus bosan mas. Kalau di sini kan temannya banyak. Bisa nganterin orang, ngobrol sama kayak sampean gini”.

Dari obrolan itu, saya mengambil kesimpulan bahwa manusia memang harus mengakui, sebelum memiliki wacana untuk ini dan itu, Yang Maha Kuasa sudah terlebih dulu memiliki rencana. Benar tidak?

2 komentar:

prianto mengatakan...

Sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang akan banyak profesi yang hari belum ada

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

enggeh pak, leres