Di masa pandemi ini ada banyak anak yang memperoleh fasilitas menggunakan smartphone. Bahkan ada juga yang sampai dibelikan smartphone baru demi menunjang keberlangsungan studinya. Beberapa ada yang menggunakan smartphone orang tua dalam kendali penuh, maksudnya diberi keleluasaan menggunakan smartphone tanpa pengawasan selama studi berlangsung.
Ya mungkin diawasi jika orang tua pas kebetulan bertemu waktu senggang. Jika tidak, ya pengawasan pun luput.
Prototipe paling mudah saya temui pada kasus keponakan saya. Ia baru duduk di kelas 3 MI. Sejak pandemi, kakak saya memang memberi kendali penuh memegang smartphone. Kuota data habis, dibelikan. Meski durasi habisnya saya kira terlalu cepat untuk ukuran konsumsi studi anak-anak.
Memang ketika penyampaian materi atau tugas sedang berlangsung, tanpa didampingi pun ia menyimaknya. Meski ia mengantuk dan bosan, tetap ia paksa untuk mengikutinya. Pun saat ia terkapar sakit karena terlalu banyak gerak bermain layang-layang di lapangan depan rumah, ia juga tetap menyimak pelajaran, karena tidak ada alasan untuk tidak masuk.
Sekadar tambahan, salah satu keuntungan sekolah secara online (daring) memang mengurangi potensi anak meliburkan diri karena sakit yang tidak terlalu berat, misal demam, pilek, kecapekan, atau bisulan. Tapi sebaliknya, pengajaran sopan santun saat bertatap muka dengan teman dan guru menjadi sangat-sangat berkurang. Mudahnya, durasi belajar bisa berlangsung tanpa hambatan jarak dan ruang, namun etika yang seharusnya sudah ditanamkan sejak dini malah tidak ditemui di sekolah online.
Kembali ke cerita di paragraf atasnya. Hanya saja di luar jam studi, keponakan saya ini kerap menggunakan smartphone untuk hal-hal lainnya, misal menonton youtube atau bermain game. Melihat itu sekilas terlihat wajar saja. Toh keponakan saya akan berhenti bermain smartphone jika kepergok kakak saya. Ia pun cenderung suka bermain layang-layang, sepak bola, bersepeda, atau main di sungai.
Tapi melihat itu, saya terbayang pada beberapa orang tua yang (mohon maaf) gagap teknologi. Ada banyak kasus dan cerita dari luar sana, dari pojok daerah yang orang tuanya kerap bola bali dimintai uang untuk membeli kuota data. Hari ini dibelikan kuota data 5 gigabyte seharga tiga puluh ribu rupiah. Selang lima hari kemudian sudah habis dan merengek minta dibelikan kuota data lagi.
Salah satu kasusnya dialami oleh Pak Seno, warga Karanganyar, Jawa Tengah yang nekat mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membelikan kuota data anaknya (dilansir dari SuaraJateng.com). Bahkan polisi yang menangkap juga kaget, rumahnya berada di komplek pemakaman yang kumuh. Uang yang dicuripun hanya sebanyak 160 ribu rupiah. Ia mengaku ekonomi keluarganya sedang sangat sulit.
Nah, apa yang dialami oleh Pak Seno ini kemungkinan juga dialami oleh banyak orang tua yang memiliki dua atau tiga anak yang sedang mengenyam pendidikan. Lha wong di masa-masa normal sebelum pandemi saja sudah sulitnya minta ampun, apalagi ketika ditimpa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Bahkan malah bisa jadi, Pak Seno ini belum tahu informasi terbaru dari kementerian bahwa kuota data sudah disubsidi oleh pemerintah sampai akhir tahun.
Ya semoga saja, Pak Seno dan jutaan orang tua yang sedang kesusahan mencukupi kebutuhan harian dan kuota data bisa ditegarkan guna menghadapai kenyataan yang semakin tidak menguntungkan hidupnya.
2 komentar:
Banyak sisi negatifnya meskipun juga ada positifnya. Inilah kenyataan dari belajar jarak jauh
Enggeh pak, banyak riset dan laporan soal pembelajaran jarak jauh. Kalau di Indonesia mayoritas mengatakan belum bisa diterapkan pembelajaran secara daring.
Posting Komentar