Warung makan mak’e, begitu saya menyebutnya. Warungnya tidak besar, tapi pemilihan tempatnya cukup strategis. Persis di depan masjid. Jika ada orang hendak berangkat atau pulang usai menunaikan shalat, mampir ke toilet, dan tidur di masjid, mereka akan menemukan warung mak’e tepat setelah keluar gerbang masjid.
Saya tidak tahu pasti kapan mak’e mulai berjualan di situ. Tapi dari hasil wawancara sederhana, warung itu sudah ada sejak tahun 90-an. Sebelum Bapak Soeharto, presiden ke II dilengserkan. Bolehlah warung itu disebut legendaris, sebab selama tiga dekade warung itu berdiri tidak pernah pindah, roboh, atau bangkrut kehilangan pelanggan.
Nah, warungnya mak’e ini juga menjadi ejekan kepada banyak toko pakaian distro dan coffee shop yang berjejal dibangun dengan konsep mewah. Bahwa tidak selamanya tempat mewah akan tetap bertahan dan punya banyak pelanggan. Buktinya selama warung makan mak’e berdiri, puluhan toko pakaian distro dan coffee shop gulung tikar kemudian diganti dengan penjual lainnya, tapi barang yang dijual sama saja, pakaian dan atau kopi.
Kalau untuk urusan rasa dan menu, saya rasa makanan di warung mak’e tidak terlalu istimewa. Ya biasa saja. Kadang asin, tapi seringnya terlalu manis. Untuk kasus rasa makanan manis ini, saya teringat kali pertama datang di Yogyakarta dan diajak makan nasi pecel di depan Plaza Ambarukmo. Kata teman saya yang asli Yogyakarta, rasanya sudah terlalu pedas. Penjualnya orang Madiun. Namun saat saya diajak sarapan di sana, sambal pecelnya malah manis.
Sedangkan menu yang dijajakan di warung makan mak’e ya nasi rames, nasi telur, nasi sayur, beberapa gorengan, dan krupuk. Untuk minumnya juga standar, kopi, teh es/anget, jeruk es/anget, dan minuman saset lainnya. Menu makanan yang lazim ditemui di banyak tempat.
Saya rasa yang menjadi daya tarik ialah harga yang harus dibayar untuk satu kali porsi makan (makan dan minum, belum gorengan atau krupuk). Normalnya, untuk ukuran Yogyakarta, satu porsi makanan kisaran dua belas sampai lima belas ribu rupiah. Itu sudah yang paling murah. Kalau ditambah gorengan dan kadang-kadang biaya parkir, mungkin tujuh belas ribulah sekali makan.
Tapi ini pengecualian untuk beberapa angkringan. Kenapa beberapa? Karena harga yang dipatok tiap angkringan berbeda-beda. Misalnya angkringan di kawasan Tugu Yogyakarta dengan andalan kopi jos, harganya tentu lebih mahal dibanding angkringan yang berjualan di gang-gang rumah. Ya meskipun untuk ukuran rasa, saya kira tidak terlampau jauh.
Nah, kembali ke warung makan mak’e ini. Harga satu porsi makan di warung mak’e ini hanya kisaran delapan ribu rupiah. Bagaimana? Cukup murah kan. Nasinya pun diberikan dalam porsi besar. Saya biasanya menyebut porsi kuli, yakni porsi untuk para pekerja berat dengan kebutuhan asupan makanan yang banyak. Ditambah lagi tidak perlu merogoh uang lagi untuk membayar parkir.
Maka tak ayal jika sejak pagi, warung mak’e sudah dikerumuni para tukang becak yang hendak sarapan sebelum pergi mencari penumpang. Agak siang sedikit, ada segerombolan ojek online yang sembari menunggu penumpang masuk, memilih nongkrong dan memesan kopi di warung mak’e. Bahkan warung mak’e juga mengajak arisan para ojek online ini. Dan sekitar jam sembilan, para pegawai cafe atau toko, bahkan manager dan bosnya sekalipun dan warga sekitar yang belum masak sudah terlanjur lapar akan memilih warung mak’e sebagai tempat pemenuhan sarapan.
Warungnya mak’e tutup siang hari, usai shalat dhuhur. Pun begitu saat tanggal merah, warungnya juga meliburkan diri. “Kalau tanggal merah ya libur mas. Biar ada waktu untuk istirahat”, ucap mak’e.
Ya begitulah. Warung mak’e saat ini mungkin memang menjadi tempat bergantung saya, pak becak, para ojek online, dan siapa pun yang mencari tempat sarapan murah meriah. Tapi nanti, kelak dua atau tiga dekade lagi; seiring menua usianya mak’e, perubahan kondisi lingkungan di sekitar masjid, tidak adanya pewaris yang bisa mempertahankan keramahan mak’e, dan kami sudah semakin disibukkan dengan pekerjaan, warung mak’e akan menjadi tonggak kenangan yang mungkin selalu kami ceritakan kepada anak keturunan di saat melakoni hidup di perantauan. Sekian.
2 komentar:
jdi penasaran.....pingin mencoba dan menikmati rasa nostalgia warung 3 zaman👍
Boleh boleh, silahkan mampir
Posting Komentar