Rabu, 23 September 2020

Pekerjaan Mapan yang Ditinggalkan

Setiap orang memiliki capaian di masa depan agar mendapat pekerjaan yang mapan dengan gaji jutaan. Maka dari itu, sejak dini sekali, laku hidup keras dan disiplin diterapkan. Sekolah yang rajin dengan tidak membolos, ikut bimbingan belajar sebagai tambahan, membaca buku, mencari pergaulan yang tidak neko-neko, dan beulang kali doa yang sama dipanjatkan. Akumulasi itu semua hanya memiliki satu tujuan, hidup sejahtera dengan ketahanan pangan keluarga yang tidak bisa goyah, meski negara dilanda resesi.

Tapi siapa sangka, rencana yang sudah dirancang untuk masa depan, dalam perjalanannya malah jauh berbelok arah. Persis lagunya Denny Caknan, “Belok kiri lurus wae”, hahaha. Ya meskipun konteks yang saya maksud bukan menjurus pada problem asmara manusia, melainkan capaian yang diharapkan.

Namanya Bima. Saya awal mengenalnya malah dari teman-teman ojek online di warung mak’e yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya. Semuanya di warung, termasuk saya, juga merasa heran tidak karuan. Pasalnya si Bima ini malah memilih menjadi ojek online dibandingkan menjadi bagian dari TNI AU. Kabarnya si Bima ini sudah masuk dan sudah dipekerjakan.

Terlebih, si Bima ini sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum pendaftaran TNI AU dibuka. Ia sudah melatih fisik dan seabrek keperluan lain yang menunjang dirinya agar bisa lolos. Bisa dibayangkan kekuatan harapan dan modal yang dikeluarkan Bima untuk meraih itu semua cukup besar.

Nah, ia lolos, lulus, dipekerjakan, dan kemudian gaji yang diperoleh tentu lebih banyak dibandingkan ia menjadi ojek online. Tapi ia malah banting setir dan menjadi ojek online. Katanya, “Lha kalau di sana, aku masuk egak bisa bebas. Mending kayak gini, tapi bisa ketemu dengan orang banyak.”

Lain Bima, lain juga si Ucil. Nama aslinya saya tidak tahu, tapi kami akrab memanggilnya seperti itu. Jika si Bima tadi tubuhnya kekar, berotot, dan penampilannya rapi, maka si Ucil kebalikannya. Hanya saja perangainya si Ucil lebih bersahabat. Ia bisa membuat bahan obrolan dari berbagai topik, mulai dari yang serius sampai yang receh remeh temeh.

Saya kira wajar saja, ia sudah merampungkan studi magisternya di salah satu kampus di Yogyakarta. Kabarnya ia juga pernah menjadi guru di sekolah swasta. Tahun sebelum pandemi ia juga sempat mendaftar sebagai ASN dan diterima. “Dek ne iku pernah ngajar ya. Setahun kalau egak salah. Emboh kok terus malah milih jadi ojek online,” tutur mak’e sebelum Ucil datang.

Ketika saya tanya apa sebabnya, ia malah menjawab kerja yang enak itu tidak melulu berfikir profit semata. “Kalau terus-menerus kayak begitu. Gaji segini egak cukup, bonus segitu belum puas. Ya akhirnya jadi serakah, jadi koruptor”, jawabnya sambil menghempaskan asap rokok.

Dua kasus ini membuat saya agak heran dan garuk-garuk kepala. Bagaimana tidak, setiap orang berkompetisi memacu kemajuan di berbagai lini kehidupan agar bisa dianggap pantas, keduanya malah emoh larut dengan yang begituan. Keduanya malah memilih menapaki jalan yang mungkin tidak pernah masuk rencana hidupnya. Melalui pertimbangan dan kalkulasinya, pekerjaan yang menawarkan gaji dan bonus bergelimang ditampik.

Secara ilmu ekonomi, kita bisa menyebut keduanya sebagai manusia yang memiliki kelainan. Tapi mungkin dari perspektif lain, tasawuf misalnya, keduanya malah bisa menjadi cermin kita bersama. Bahwa pekerjaan tidak melulu tentang capaian-capaian yang entah kapan akan bertemu titik henti, bukan juga tentang keuntungan semata. Melainkan sebagai bentuk dharma kepada diri sendiri, sesama, dan semesta.

2 komentar:

prianto mengatakan...

Tidak semua orang berani mengambil keputusan seperti itu. Mereka adalah orang langka

prianto mengatakan...

Tidak semua orang berani mengambil keputusan seperti itu. Mereka adalah orang langka