Menjadi pengamen itu tidak mudah. Selain harga diri menjadi pertaruhan, tidak jarang, rezeki yang diperoleh juga tidak seberapa. Malahan banyak di antara pengamen yang melulu mecucu karena hasil ngamennya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup yang semakin sulit.
Kita sering menjadi orang yang risih jika ada pengamen. Lagi makan di warung dapat satu suap, suara petik gitar berbunyi dan lagu didendangkan. Satu pengamen berlalu, masuk lagi pengamen berikutnya.
Dan saya menjadi orang yang mesti membangun pondasi kuat untuk tidak memberi uang. Alasan pertama, saya tidak tahu latar belakang hidup pengamen seperti apa. Begini maksudnya, ada banyak orang yang enggan repot-repot mencari kerja. Padahal secara fisik, ia mampu bekerja menjadi kuli atau tukang bangunan misalnya. Atau secara pendidikan ia tamatan sarjana yang sejatinya bisa memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Tapi ia malah memilih menjadi pengamen.
Terkait ini saya bertemu satu kasus yang cukup mencengangkan. Dulu saya mengira ia menjadi bagian bapak becak yang tiap malam menginap di masjid. Eh ternyata perkiraan saya jauh meleset. Ia ternyata seorang pengamen. Ia juga sudah memiliki tempat tinggal, keluarga, dan lulusan sarjana Bahasa Inggris di kampus ternama di Yogyakarta (saya tidak sebut merk). Katanya, "Lha sehari ngamen saya dapat 300 ribu mas."
Nah bayangkan. Itu sehari. Jika dikalkulasi dalam sebulan, hasil perolehannya bisa di rata-rata 9 juta. Gaji yang cukup fantastis bukan.
Kedua, mayoritas pengamen mencari uang tidak untuk mencukupi kebutuhan hidup agar bisa sejahtera dan layak. Justru malah sebaliknya, mereka mengamen untuk bersenang-senang misal judi atau mabuk.
Untuk kasus ini, saya dapat cerita sebut saja namanya Pak Min. Ia seorang tukang becak yang lama malang melintang dalam dunia perbecakan di Yogyakarta. Katanya, "Lho, pengamen itu ada grupnya lho mas. Mereka itu biasanya ada komandonya. Setelah ngamen, uangnya terkumpul, setelah itu buat mabok. Kalau egak gitu main judi. Sampai sekarang pun masih sama."
Maka setelah mendengar itu, saya menjadi ada semacam rasa khawatir jika uang yang saya sumbang menjadi perantara bagi mereka untuk menunaikan mabuk dan judi. Duh gawat. Tapi ini mayoritas pengamen, minoritasnya mungkin tidak atau malah melakukan hal buruk dalam bentuk lain, saya juga alpa.
Ketiga, ini yang kerap menggetarkan bahkan menggoyahkan pondasi saya yang awalnya emoh memberi lantas berubah pikiran mengasihani uang walau hanya 500 rupiah. Sebelum gitar dipetik dan lagu dikumandangkan, ia sudah memberi maklumat bahwa ia mengamen karena sulitnya mencari pekerjaan. Mengamen bagi mereka menjadi ajang untuk mendemonstrasikan seni musik. Lebih-lebih jika usai mengamen disertai doa berkepanjangan. Ditambah lagi yang mengamen ialah ibu-ibu sembari nggendong anak yang usianya masih belia, atau anak kecil yang seharusnya mengenyam pendidikan malah berjibaku mempertahankan hidup melalui mengamen.
Dan kemarin saya bertemu pemandangan yang terakhir itu. Ketika sudah duduk nyaman di dalam bus di Terminal Tirtonadi Solo, ada anak kecil membawa gitar masuk bus. Saya lupa awalnya ia bilang apa saja, tapi yang terlintas hanya "... Daripada saya mencuri, begal, atau merampok, lebih baik saya mengamen."
Sesaat setelah itu ia menyanyikan lagu Darah Juang. Lagu yang menurut saya sangat relevan dengan kehidupan sehari-harinya. Melalui suaranya yang serak-serak basah, ia bisa menghipnotis saya untuk merogoh uang seribu rupiah di saku celana. Ketika lagu akan usai, saya hampir ceroboh memberinya sepuluh ribu rupiah. Tapi setelah saya kalkulasikan, ternyata pikiran emoh memberi malah kalah dengan bujukan lagu yang dinyanyikan anak itu tadi. Akhirnya ya uang seribu masuk dalam wadah kresek yang disodorkan anak itu.
Dan saya sarankan kepada pembaca yang budiman untuk mengambil alasan saya yang terakhir, bukan dua di atasnya. Sebab memberi ke pengamen sama saja dengan mendharmakan secuil rezeki kita kepada sesama. Dalam ilmu sedekah, saya kira 'memberi' jadi core of the core-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar