Di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pembelajaran dilakukan tidak hanya di dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Di dalam kelas mahasiswa-mahasiswi disuguhi dengan beragam materi yang disampaikan oleh para dosen, kemudian ada ujian, mendapat nilai, dan terakhir dinyatakan lulus. Pembelajaran mode ini sudah ada aturan, indikasi tercapai dan tidak tercapai, sekaligus bisa dilihat perkembangan pemikiran dari tiap mahasiswa-mahasiswi yang mengikuti perkuliahan mulai dari awal sampai akhir.
Sedangkan pembelajaran di luar kelas, mahasiswa-mahasiswi cenderung diberi kebebasan untuk memilih, mengeksplorasi, dan menentukan potensi apa-apa yang ingin dikembangkan. Ada banyak opsi yang bisa dicoba mulai dari ikut organisasi kemudian menjadi aktivis, atau menjadi bagian dari mahasiswa biasa namun memiliki prestasi mendunia. Semua diperbolehkan tanpa ada tekanan dari siapa pun.
Hanya saja, saya rasa ada yang patut untuk dipertimbangkan sebelum mengikuti komunitas, organisasi, atau lembaga tertentu sebagai bentuk pembelajaran di luar kelas; Pertama, tentukan dulu potensi apa yang sudah dimiliki sendiri. Ini penting, karena jika potensi dan komunitas, organisasi, atau kelompok yang diikuti tidak sejalan, maka kemungkinan besar hanya akan membuang waktu untuk hal-hal yang tidak perlu.
Kedua, dalam kurun waktu 10 atau 15 tahun ke depan kita ingin menjadi apa? Politisi? Seniman? Penulis? Atau akademisi? Nah ini perlu dipertimbangkan di awal sebelum ikut komunitas, organisasi, atau kelompok. Bahwa nanti di sepanjang perjalanan kita akan berbelok arah dan tidak lagi memiliki minat seperti di awal, itu tidak jadi masalah. Toh manusia memang memiliki karakter yang dinamis dan mudah sekali melakukan adaptasi.
Ketiga, berbagai macam komunitas, organisai, atau kelompok ini menyediakan jaringan yang saya rasa cukup diperlukan untuk kebutuhan masa depan. Hari ini mungkin perkenalan dengan teman si a, b, c, dan teman-teman lainnya tidak memberi dampak yang cukup signifikan. Tapi nanti ketika sudah lulus dan merambah memulai meniti karir, maka relasi, jaringan, atau network ini penting sekali.
Ketiganya ini perlu dipertimbangkan oleh para mahasiswa-mahasiswi yang ingin terjun dan menggeluti komunitas, organisasi, atau kelompok tertentu. Saya rasa ketiganya juga saling berkelindan erat. Pertimbangan pertama, juga berkaitan dengan pertimbangan kedua dan ketiga. Begitu pun sebaliknya.
Nah, penuturan Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., M.A (selanjutnya disebut Prof. Al Makin) selain pembalajaran di dalam dan di luar kelas, juga menyampaikan tentang etika mahasiswa. Prof. Al Makin memberi istilah etika yang sudah mendunia. Apa saja?
Pertama, etika keragaman. Perilaku mahasiswa selayaknya memiliki cara pandang yang lapang, tidak sempit. Berbagai suku, identitas, agama, bahasa, dan budaya dirayakan dalam bentuk apresiasi, bukan malah justifikasi dan klaim mana benar dan salah. Belakangan etika keragaman ini semakin sulit ditemui, bahkan di wilayah mahasiswa-mahasiswi sekalipun. Ya bisa jadi ini sebagai bentuk proteksi diri sendiri. Namun apakah proteksi diri sendiri yang seperti ini harus menegasikan adanya keragaman? Perlu riset lebih lanjut terkait hal ini.
Kedua, etika melindungi minoritas. Ada banyak kasus yang kerap kali kita temukan soal mayoritas yang melulu tidak mau kalah. Prototipe paling mudah ditemui misalnya pada kasus Ahmadiyah yang kerap mendapat diskriminasi, kepercayaan lokal yang terus-terusan ditekan untuk beralih pada agama yang resmi, waria yang mesti ditutup aksesnya agar tidak mendapatkan hak-haknya, petani yang lahannya digusur dengan dalih pembangunan, dan seabrek kasus-kasus yang merugikan minoritas. Dan mahasiswa-mahasiswi memiliki peran di sini. Minimal bisa memberi cara pandang yang baru dan segar kemudian ikut silang wacana, jika memang tidak bisa terjun langsung membela ke lapangan.
Ketiga, etika kejujuran. Prof. Al Makin menyebut nama Bapak Proklamator, Moh. Hatta untuk dikutip, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit untuk diperbaiki.” Wejangan yang disampaikan beberapa dekade lalu, ternyata hari ini masih relevan untuk memotret laku kita di keseharian. Maka dari itu, mahasiswa-mahasiswi sedikit banyak selayaknya mulai menerapkan perilaku yang jujur dan adil. Persis seperti wejangannya Eyang Pramodya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”
Begitu, ketiga etika ini penting untuk ada pada tiap mahasiswa-mahasiswi. Levelnya mungkin tidak hanya etika yang dimikili semata, tapi sudah harus diejawantahkan dalam perbuatan di keseharian.
Terakhir, tulisan ini dibuat sebagai bentuk keikutsertaan saya di kegiatan sosialisasi pembelajaran (SOSPEM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 02/10/2020. Bahan tulisan diambil dari youtube, materi Teaching and Researche University yang dituturkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., M.A. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar