Sabtu, 31 Oktober 2020

Kisah Asmara Auguste Comte


Nama Auguste Comte tidak terlalu asing bagi mereka yang menaruh perhatian pada ilmu-ilmu sosial, politik, dan filsafat. Ia seorang pria yang lahir di Mountpelier, Perancis, pada 19 Januari 1798. Keluarganya berasal dari golongan menengah. Ayahnya merupakan pejabat lokal di kantor pajak setempat. Ya meski gajinya tidak terlalu besar, namun secara status sosial, keluarganya cukup dihormati oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

Ia hidup ketika revolusi Perancis sedang berkecamuk. Demonstrasi, protes, dan kritik yang menuntut perubahan menyeluruh terjadi di mana-mana. Kabarnya ia sampai menderita penyakit jiwa. Saya rasa ini lumrah, karena ia sendiri terlibat demonstrasi dan menjadi seorang aktivis. Ia sering diancam dan ditekan oleh pemerintah, sehingga hidupnya diliputi kekhawatiran dan melulu cemas. Ia juga sempat masuk rumah sakit jiwa, kemudian kabur karena menganggap dirinya tidak mengalami gangguan jiwa.

Ia sendiri tercatat sebagai mahasiswa yang kritis. Beberapa kali ia bersama teman sekelasnya dikeluarkan dari kelas oleh pengajarnya di kampus Ecole Polytecnique, karena gagasan politiknya yang dinilai mengancam kemapanan. Akhir pendidikannya bisa ditebak, ia tidak memperoleh ijazah sebagai bukti pernah menjadi mahasiswa teladan dan berprestasi. Duh!

Perawakan Auguste Comte ini agak jelek. Kalau ia hidup di era sekarang, mungkin ia kerap menjadi korban bulliying. Heilbron menggambarkan Auguste Comte sebagai pria yang pendek. Matanya juling. Ia juga terus merasa gelisah jika berada atau berdekatan dengan perempuan. [1]

Sayang sekali, Heilbron di sini tidak mencatat kegelisahan Comte ini dimusababkan oleh apa. Apakah karena risih? Emoh berdekatan dengan perempuan? Apakah ia masih memandang perempuan sebagai setengah manusia, mengingat di masa itu gerakan feminis belum semasif hari ini. Atau karena apa?

Kendati perangainya seperti itu, ia juga tercatat pernah menikahi seorang perempuan. Istrinya Caroline Massin, mantan seorang –kalau di lingkungan kita disebut dengan- pegawai seks komersial. Keduanya mengarungi bahtera rumah tangga sejak tahun 1825.[2] Ya kalau ditilik dari tahun lahir Auguste Comte, berati ia menikah di usianya yang ke-27 tahun.

Tapi sayang, 16 tahun kemudian keduanya harus bercerai. Hal ini ditengarai oleh sifat Auguste Comte yang cenderung tempramental. Setelah berpisah dengan Caroline Massin, ia sempat beberapa kali jatuh cinta, dan beberapa kali juga ia ditolak. Sampai di titik tertentu, ia merasa stress dan depresi. Bahkan kabarnya ia juga sempat merencanakan ingin bunuh diri, namun diurungkan.

Nah istimewanya, ketika mengalami patah hati, Auguste Comte justru memiliki gagasan untuk membuat agama baru. Ia resah dan gelisah, karena menurutnya agama yang ditujukan untuk kebaikan manusia malah digunakan sebagai alat untuk membunuh, perang, dan melukai orang lain, termasuk kasusnya yang melulu ditolak cintanya.

Ia menamainya sebagai agama kemanusiaan atau agama positif atau religion of humanity. Ia menghendaki agama ini minus formalitas. Moralitas agama ini ada pada cinta dan pengabdian cintanya kepada kemanusiaan. Lantas siapa tuhannya? Ia menyebutnya sebagai Grand Etre (Supreme Being) atau jika dialihbahasakan menjadi Ada Sesuatu Yang Agung. Nah, yang dimaksud Ada Sesuatu Yang Agung ini ialah kemanusiaan itu sendiri. [3]

Ya bisa dibilang babakan asmara Auguste Comte cenderung suram, berkebalikan dengan kegiatan intelektualnya yang mendapat pengakuan, ditelaah, dan dikritik oleh mereka yang datang belakangan. Ia menghembuskan nafas terakhir pada 5 September 1857, karena kanker lambung. Sekian.

 

Sumber Pustaka

[1] Heilbron, Johan. 1995. The Rise of Social Theory. London: Polity

[2] Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media

[3] Ngaji Filsafat 5o: Auguste Comte edisi Filsafat Barat Modern, bersama Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, diakses via youtube MJS Channel 31 Oktober 2020


Tidak ada komentar: