Beberapa hari ini, di beberapa daerah, hujan mulai turun dengan intensitas yang cukup tinggi. Kita diajak untuk bersiaga menyambut datangnya hujan yang kadang disertai angin, gelegar petir, atau hanya sekadar rintik-rintik namun bisa berakibat flu berkepanjangan.
Terlebih sekarang pandemi belum juga rampung. Mau tidak mau, tubuh kita harus sedia kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi apa pun agar tetap sehat.
Berbicara hujan, sore tadi saya bersua dengan bapak penjual, yang kita di Tulungagung menyebutnya dengan “es tung”. Nama “es tung” ini sudah menjadi brand. Sejak kapan nama ini disematkan saya pun luput dan enggan untuk mencarinya. Tapi yang pasti, nama itu melekat ketika gong ukuran kecil itu dipukul dan menghasilkan bunyi “tung”. Coba jika yang digunakan peluit, mungkin namanya bisa jadi “es prit”. Atau yang dipakai menjadi tanda es dijual itu bunyi icik-icik seperti yang biasa ada di gelaran musik dangdut, namanya munkin jadi “es cik” atau “es icik-icik”.
Perjumpaan saya dengannya terjadi sekitar jam dua siang. Ia usai menunaikan shalat dhuhur. Terbukti dari peci bulat putih yang belum dilepas dan sajadah biru pudar bergambar makkah yang masih ditenteng.
Yogyakarta dalam sepekan terakhir ini memang lagi muram. Langitnya mendung. Beberapa kali perkiraan dari BMKG bahwa hari itu hujan, cukup tepat. Kendati beberapanya lagi malah prediksi yang terjadi di luar perkiraan. Misalnya kemarin BMKG merilis bahwa Yogyakarta hari Sabtu hanya mendung dan hujan rintik-rintik, tapi yang terjadi malah hujan lebat di sejumlah titik dan hujan sedang di titik yang lain.
Dan hari ini, sejak pagi, Yogyakarta sudah diguyur hujan. Reda dua jam, hujan lagi, kemudian hujan rintik-rintik. Begitu terus.
Nah, saat saya mendekat menyodorkan uang ke bapak penjual es tung itu, mata saya memergoki dagangannya masih utuh. Iya, benar-benar utuh belum tercuil sedikit pun. Dagangannya belum terbeli barang seribu dua ribu. Saya mungkin pembeli pertamanya sejak ia pergi dari rumah dengan harapan bisa meraup uang banyak untuk keperluan keluarganya.
“Sudah keliling dari mana saja pak?”
“Ya masih dari Janti terus ke Lempuyangan, baru ke sini ini mas. Kalau hujannya reda, mungkin ke daerah Kampus UPN”, jawabnya.
Bayangkan, rute dari Berbah-Lempuyangan-Jalan Afandi Gejayan itu jaraknya tidak kurang dari 10 kilometer. Dan dagangannya belum laku sedikit pun.
Pikiran saya langsung merangsak menemui wajah-wajah lain yang senasib sepenanggungan seperti bapak penjual “es tung” ini. Wajah–wajah yang lelah dan pasrah ketika hujan turun. Mereka menjadi garda terdepan yang paling terdampak dari turunnya hujan. Hampir bisa dipastikan, ketahanan pangannya di musim penghujan bisa merosot tajam. Jalan satu-satunya selain menjual barang berharga, ya menambah saldo hutang ke warung kelontong demi bisa makan untuk hari itu. Berharap bantuan ke pemerintah? Pemerintah masih sibuk dengan Pilkada dan gerak cepat Omnibus Law.
Rencana di awal, saya hanya membeli satu untuk dikonsumsi sendiri. Tapi ternyata rencana itu runtuh. Saya tidak tega. Saya pun membeli sebanyak uang yang saya bawa. Celakanya saya hanya membawa uang 20 ribu, dan hanya bisa dapat 4 es tung dengan balutan roti tawar. Satu untuk saya, tiga saya kasih ke teman saya yang lain.
Usai melayani saya, bapak itu segera mengenakan jas hujan. Kebetulan hujan sudah agak reda, tinggal menyisakan tetesan air dari daun di pepohonan dan pipa pembuangan air hujan dari atap masjid. Saat tubuhnya lenyap ditelan gerbang, teman saya bergumam es tung-nya enak dan mau beli lagi. Tapi bapak itu sudah pergi, mengayuh sepedanya dengan harapan dagangannya bisa cepat habis dan membawa wajah ceria untuk keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar