Jumat, 23 Oktober 2020

Kalau Mau Tahu, Ya Tanya

Mempertanyakaan sesuatu membuka kemungkinan bagi kita untuk menemukan pengetahuan dan kebenaran baru. Sementara membayangkan kebenaran dan pengetahuan yang sudah mapan, membuat kita terhalang dari pengalaman yang (bisa jadi) baik – Soren Kierkegaard.

Ada banyak kasus di masyarakat kita yang bisa menjelaskan maksud ungkapan Kierkegaard di atas. Sekilas, ungkapan itu memang dialamatkan kepada siapa saja yang karena sebab apa saja, dirinya merasa lemah, tidak berdaya, dan jatuh terperosok ke jurang putus asa.

Di instagram, saya pernah menemui video yang berdurasi kurang lebih empat menit. Di video tersebut, ada anak usia sekolah dasar bersama dengan kedua orang tua yang tidak memiliki hubungan harmonis. Perjalanan ceritanya memang bisa ditebak, si anak yang masih SD itu yang menjadi korbannya. Kasih sayang, perhatian, bahkan hanya sekadar jawaban sederhana yang diingini oleh si anak, tidak diperoleh dari kedua orang tuanya. Justru si anak menjadi sasaran cubit ibunya, kata kasar ayahnya, dan beban berondongan pertanyaan dari para tetangga.

Dampak dari itu, proses transformasi pengetahuan dari gurunya selama di sekolah tidak diterimanya dengan maksimal. Nilainya jeblok, daya ingat menurun, gandrung belajarnya anjlok, dan setiap harinya diisi dengan tangisan, depresi, renungan. Sampai di akhir video, ketika orang tuanya lamat-lamat sudah rukun kembali, si anak itu tidak kunjung rampung dengan masalahnya. Perlakuan salah malah ditujukan si orang tua dengan membelikan mainan dan memberi fasilitas sebagai penebusan dosa.

Padahal jika orang tuanya mau bertanya kepada si anak, apa kebutuhan paling penting yang harus dipenuhi saat itu jua, si anak mungkin akan memberi jawabannya. Dan melalui jawaban itu, si orang tua akan bisa memberikan mantra, barang, atau pelukan yang pas dengan kebutuhan anak. Bukan malah melihat kecenderungan umum, bahwa jika anak murung, maka perlu dibelikan mainan.

Nah, cerita ini hampir sama dengan ketika ada kasus anak di kelas yang nakal. Hampir separuh lebih guru akan menghukumnya berdiri di depan kelas, dijewer, diancam tidak naik kelas, atau dilaporkan ke orang tuanya. Padahal jika anak nakal itu ditanya dengan cara terbuka, mungkin akan ada jawaban-jawaban lain yang tanpa sadar bisa membuatnya sampai seperti itu.

Kalau pernah menonton serial anime Naruto, maka akan lebih mudah saya menjelaskannya. Naruto kecil yang tidak tahu menahu sebabnya apa, dijauhi oleh warga desa. Ia melulu dianggap ancaman, karena di dalam tubuhnya ada kyubi, monster ekor sembilan. Hanya beberapa orang saja, termasuk hokage ke III dan petinggi desa yang mengetahui sebab dan kenapa Naruto sampai diperlakukan seperti itu.

Mungkin karena jengkel terus-menerus disisihkan oleh warga desa, tidak dianggap ada, dan tidak ada yang mau berteman dengannya –kecuali Nara Sikamaru-, Naruto pun berbuat onar. Sebut saja perilakunya yang mengecat Patung Hokage, mau mencuri gulungan terlarang, jahil dan usil saat di kelas. Kalau dicermati kenapa Naruto sampai bisa seperti itu, jawabannya hanya dua, ia butuh perhatian dan mau diperlakukan layaknya anak manusia yang masih kecil. Dan setelah mendapat pengakuan dari Iruka, gurunya ketika di akademi, perangai Naruto pun berubah.

Kira-kira begitu maksud ungkapan dari Kierkegaard di atas. Mudahnya, jika ada asumsi yang digeneralisir, tanpa dipertanyakan ulang, kemudian kita keburu mengjudge ini salah atau ini benar, maka kita bisa terjebak pada –kemungkinan- jawaban yang keliru dan menghindarkan pada -kemungkinan- jawaban lain yang lebih pas.

Terakhir saya hanya berharap bahwa contoh yang saya sodorkan bisa mempermudah, bukan malah membuat susah para pembaca. Toh jika memang yang diterima malah yang ‘susah’, maka cukup ungkapan Kierkegaard saja yang diambil. Gitu aja repot!

Tidak ada komentar: