“All is well... All is well”, ucap Rancho kepada Raju dan Farhan, temannya yang tinggal dalam satu kamar di asrama kampus Imperial College of Engineering (yang selanjutnya disebut ICE). Ketiganya bersua di kampus tersebut dengan latar belakang kehidupan yang berbeda. Pun termasuk orientasi ketiganya masuk di kampus ICE.
Rancho yang gila dengan ilmu pengetahuan kerap mengkritik sistem pembelajaran yang dinilainya keliru. Satu sesi yang menurut saya paling menampar realitas pendidikan ialah murid disamadengankan seperti robot. Murid melulu wajib mengikuti apa yang tertera di buku, menurut dengan materi yang disampaikan guru, dan protes atau kritik akan mengalamatkan si murid pada nilai yang buruk.
Bagi Rancho, sistem pembelajaran seperti ini tidak ubahnya seekor singa yang diajak sirkus. Tiap hari dilatih, loncat ke sana-ke mari. “Kita bisa mengatakan singa ini terlatih karena takut, bukan terdidik”, ucap Rancho. Akibatnya Rancho kerap diusir dari kelas. Ia pun malah senang dan bisa pindah ke kelas lainnya. Baginya, belajar bisa di mana saja. Ya pendidikan itu harus memerdekakan, baik ketika sedang maupun setelahnya. Kira-kira begitu.
Sedangkan orientasi Raju memasuki kampus ICE persis dengan orientasi kebanyakan masyarakat kita. Setelah menempuh pendidikan tinggi, kemudian kerja dengan bayaran besar, hidup sejahtera, dan bisa mengentaskan keluarganya dari kemiskinan. Orientasi ini jamak ditemui di mana-mana, saya pun mungkin masuk kategori ini.
Orientasi ini tidak sepenuhnya salah, hanya saja ada beberapa hal yang saya rasa menjadi kurang pas –untuk tidak menyebutnya sebagai kritik. Pendidikan yang mulanya menjadi wadah untuk mencari ilmu, beralih menjadi mencari kerja. Akibatnya banyak murid yang mau berbuat apa saja untuk mendapatkan nilai tinggi, karena nilai yang tinggi akan mempermudah ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal tidak ada korelasi sama sekali antara nilai yang tinggi dengan kepahaman murid terhadap materi. Sebab bisa jadi, nilai yang tinggi ini muncul dari cara belajar si murid melalui hafalan-hafalan materi atau menyontek, bukan penalaran, pengayaan, apalagi analisis.
Adapun Farhan memasuki kampus ICE karena dipaksa oleh kedua orang tuanya. Padahal Farhan sendiri lebih menyukai dunia fotografi. Hasil jepretannya cukup baik. Akibatnya ia sendiri menjalani hari-hari di kampus ICE hanya sebagai laku menunaikan kewajiban semata, tidak ada rasa senang apalagi gandrung belajar di kampus ICE.
Saya membayangkan jika Farhan ini hidup di masyarakat kita, dengan kultur Jawa yang dominan dengan sisi legowo, maka kedua orang tuanya akan menasihati, “Sudah le tidak apa-apa. Witing tresno jalaran saka kulino. Sekarang kamu mungkin tidak cocok kuliah di ICE, tapi kalau sudah terbiasa, kamu akan cocok kok.” Sekilas ucapan ini menentramkan. Tapi lagi-lagi ucapan ini juga menjadi bom waktu. Sebab apapun itu, jika kita melakukannya tidak dari rasa suka, senang, kecenderungan, dan hobi, yang ada hanya tekanan demi tekanan sampai depresi dan yang parah bisa sampai bunuh diri.
Sepintas tentang film 3 Idiots. Film ini diproduksi pada tahun 2008, dan rilis setahun kemudian pada 25 Desember 2009. Film ini menggaet Amir Khan sebagai tokoh Rancho dan Kareena Kapoor sebagai Pia. Akhir film ini bisa dituduh dengan istilah happy ending. Sebab semuanya, termasuk Raju dan Farhan, bisa memanen asa yang dulu ketika di kampus ICE sempat terpendam.
Adapun wejangan dari film 3 Idiots yang saya rasa paling mengena ialah “Gak perlu takut jadi diri sendiri, apa yang hatimu suka lakukanlah karena kesempatan hidup gak datang dua kali”. Bagi yang belum menonton, saya cukup menganjurkan untuk menontonnya. Meskipun di dalamnya ada beberapa adegan yang saru dan seru. Hehehe.
4 komentar:
Nama anakku Farhan, he he
Waduhhh bu, hehehe
Wah, sepertinya filmnya bagus pak. Belum menonton....
Monggo pak ditonton dulu, cukup menginspirasi
Posting Komentar