Siang itu udara terasa terik menyengat. Hawa panas sampai masuk ke dalam pori-pori kulit. Namun semua itu tidak menjadi kendala yang perlu dikeluhkan bagi petani di desa saya.
Bapak saya, bersama dengan petani lainnya sedari pagi sudah bergegas berangkat ke sawah. Membawa sebilah tongkat dengan kresek di ujungnya. Sesampainya di sawah, mereka segera turun dengan teriakan untuk mengusir hama burung sembari menganyunkan tongkat tersebut. Burung-burung pun berhamburan terbang ke udara, berpindah, mencari celah untuk makan bulir padi di sisi sawah yang luput dari penjagaan.
Hama burung seperti ini memang kerap menyerang sawah ketika bulir-bulir padi mulai muncul. Di desa saya akrab dikenal dengan burung emprit atau burung pipit.
Ukuran tubuhnya tidak lebih besar dari genggaman orang dewasa. Namun daya makannya bisa membuat para petani menciutkan harapan dari hasil panen yang melimpah. Tidak tanggung-tanggung, selama kurun waktu sebulan, segerombolan hama burung ini bisa memakan separoh dari hasil yang seharusnya dipanen oleh para petani.
Biasanya sebelum itu, para petani sudah siaga dengan membuat memedi sawah (orang-orangan sawah). Batok kelapa sebagai kepala, dua tongkat sebagai badan, ditambah aksesoris kaos dipasang tegak berdiri di tengah area persawahan. Memedi sawah dibuat semirip mungkin dengan manusia. Kata bapak, “Biar burungnya kabur, tidak jadi makan (bulir) padi, karena menganggap itu sebagai manusia”. Ucapan bapak memang tidak bisa menjamin burung pergi ketika bersua dengan memedi sawah. Tapi ucapan itu cukup logis. Burung bertindak menggunakan insting, bukan logika layaknya manusia. Jika merasa lapar, ya makan, tanpa memedulikan makanan siapa yang dinikmati dengan lahapnya. Hanya saja, apakah manusia juga tidak pernah seperti itu?
Memasang memedi sawah saja kurang efektif untuk menekan laju serangan hama burung. Para petani biasanya memasang tongkat yang di ujungnya diberi kaleng bekas susu, bir bintang, atau biskuit khong guan. Tongkat ini dipasang mengitari area persawahan dengan jarak 2-3 meter, kemudian dihubungkan dengan tali rafia. Ketika ditarik, tongkat-tongkat ini menimbulkan bunyi yang berisik. Bunyi-bunyi yang bisa membuat hama burung terusik lantas kabur.
Memerangi hama burung tidak cukup dengan itu saja. Jika para petani ingin hasil panen yang melimpah ruah, mereka harus mengeluarkan modal lagi dengan membeli jaring. Jaring-jaring ini dipasang di atas padi. Semakin luas sawahnya, semakin banyak jaring yang harus dibeli, dan semakin banyak modal yang harus dikeluarkan.
Bagi para petani, sebulan sebelum panen menjadi masa-masa penentuan. Apakah hasilnya bisa digunakan untuk menutupi hutang di bulan-bulan sebelumnya atau tidak? Apakah bisa balik modal dan digunakan untuk produksi di masa tanam berikutnya atau tidak? Apakah cukup untuk keperluan sekolah anak-anaknya, membayar tagihan listrik, dan kredit motor atau tidak? Asa panen melimpah sekaligus bayang-bayang kegagalan melulu menghantui para petani di masa-masa ini.
Sedangkan bagi pegiat lingkungan hidup, kasus hama burung sebelum panen mungkin tidak disejajarkan dengan kasus penggundulan hutan, polusi udara akibat kendaraan bermotor, dan pencemaran sungai karena limbah pabrik. Hama burung mungkin malah dimaknai oleh mereka sebagai sehatnya ekosistem di sawah. Padahal antara petani dan burung yang terjadi bukan simbiosis mutualisme seperti bunga dan lebah, namun yang terjadi malah simbiosis parasitisme. Petani cenderung dirugikan.
Jika hama burung makan bulir padi sampai petani terancam gagal panen misalnya, dan dari situ petani menjadi kelaparan kemudian terkena penyakit dan meninggal, hama burung tidak bisa disalahkan. Kebalikannya, jika petani berupaya memerangi hama burung dengan memberantas burung emprit, maka petani mungkin akan didemo dan disalahkan oleh pegiat lingkungan hidup. Alih-alih mendapat solusi mujarab terkait mengatasi hama burung, para petani mungkin malah masuk bui.
Lebih-lebih dari kacamata pemerintah. Persoalan hama burung mungkin tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat. Pemerintah hanya mencatat dan membuat statistik selama kurun waktu beberapa tahun, apakah panen petani di negeri ini naik atau turun? Kalau naik, ketahanan pangan yang diindikasikan dengan stok beras melimpah tersimpan di bulog. Kalau turun, ya impor beras dari negara tetangga.
Dari persoalan hama burung saja, bisa dilihat bahwa menjadi petani merupakan profesi yang banyak menguras tenaga sekaligus modal yang banyak, tanpa ada jaminan panen yang melimpah apalagi kesejahteraan. Maka jangan salahkan anak-anak di desa yang ketika dewasa lebih memilih menjadi pegawai di dinas pertanian, bukan sebagai petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar