Sebagai bangsa yang pernah menemui masa-masa sulit, masyarakat kita akhirnya menjadi lebih kreatif, terdepan dan terpercaya dalam segala hal, termasuk untuk urusan kuliner. Lidah kita juga dibiasakan secara turun-temurun untuk mencicipi makanan bercitarasa kearifan lokal.
Fadly Rahman di bukunya bernama Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia mengingatkan kita bahwa negeri ini tetap bisa makan dan hidup meski digencet habis-habisan oleh Belanda dan Jepang. Bayangkan saja, kepemilikan tanah yang tidak seberapa, yang seharusnya ditanami padi untuk menyambung hidup di beberapa bulan mendatang, oleh mereka diambil tanpa ada keuntungan yang mensejahterakan. Bahkan si pemilik tanah yang tidak terima kemudian menuntut haknya, tapi oleh mereka malah dicap sebagai pemberontak.
Persoalannya ternyata tidak hanya itu. Alam kadang datang juga malah untuk menguji batas wajar sabar nenek moyang kita. Kekeringan misalnya. Panen yang jauh hari diprediksi bakal meruah, terancam gagal karena air sulit didapat.
Maka tidak mengherankan jika di masa-masa itu, nenek moyang kita banyak yang menderita penyakit dan kelaparan. Ada juga yang sampai wafat. Semua itu dipicu oleh asupan gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Lha wong kita saja yang sehari makan dua sampai tiga kali kadang masih belum cukup jika cilok, batagor, dan gorengan belum turut dimasukkan ke perut.
Cerita nestapa ini masih berlanjut. Untuk mengurangi rasa lapar sekaligus menyambung hayat, nenek moyang kita beralih menanam dan mengkonsumsi umbi-umbian.
Crince le Roy membeberkan peta makanan yang dikonsumsi oleh penduduk Jawa dan Madura pada tahun 1930 per tahun per kapita ialah 27 kg ubi, 119 kg singkong, dan 90 kg beras. Senada dengan itu, Poorwo-Soedarmo yang berprofesi sebagai seorang dokter pribumi menemukan, pada tahun 1942-1945 di bagian selatan Yogyakarta bahwa, masyarakat di sana banyak yang beralih mengkonsumsi singkong dan ubi.
Lagi-lagi peralihan bahan makanan dari padi ke singkong dan ubi ini tidak cukup untuk merampungkan urusan makan. Kenapa? Karena olahan yang melulu direbus memicu rasa bosan berkepanjangan ketika menyentuh lidah. Laku kreatif pun muncul. Bagaimana cara mengolah bahan makanan sederhana dan apa adanya, tanpa perlu biaya besar, namun rasanya bisa menggoda selera makan sejak disajikan? Sebab hanya dengan bahan makanan itu, perut bisa terisi. Kendati nutrisi dipikir keri.
Akhirnya muncullah banyak olahan yang berbahan dasar singkong dan ubi, salah satunya gatot. Konon makanan ini dinamai gatot karena kondisinya yang telah gagal total. Olahan semacam ini dulu mungkin menjadi makanan wajib, tanpa ada uji klinis apalagi sertifikasi halal.
Dalam tempo kurang dari satu abad, jajanan gatot bergeser dari yang awalnya makanan pokok menjadi jajanan yang banyak ditemui di pasar-pasar. Berbagai varian rasa, warna, kemasan, dan harga bisa dipilih sesuai kantong dan selera lidah. Pun begitu aneka resep membuat jajanan gatot juga tersedia di berbagai kanal di media sosial.
Kini semua bisa makan jajanan gatot tanpa merasa sedih, tanpa khawatir dan tanpa merasa cemas, kalau-kalau besok tidak bisa makan atau diserang penyakit karena kekurangan gizi. Jajanan gatot juga bisa dinikmati bersama keluarga, dia, atau sendiri bersama sepi. Jajanan gatot dimakan sebagai hidangan nostalgia berasa kearifan lokal, tapi dilupakan bahwa dulu dalam babakan tertentu, jajanan gatot bersama jajanan berbahan singkong dan ubi lainnya berhasil menyelamatkan hayat nenek moyang kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar