Minggu, 06 Desember 2020

Rumah Joglo Di Sepiring Nasi Pecel

Selamat berakhir pekan, semoga kita selalu diberi sehat dan sempat untuk melakukan berbagai macam kebaikan. Sebab di masa pandemi yang urung rampung seperti ini, kebaikan tidak bisa hanya didialogkan dalam wacana, tapi juga harus diwujudkan dalam pelbagai hal.

Berbicara tentang kebaikan, kemarin saya baru ditraktir makan nasi pecel di Mato Kopi, sebuah warung kopi yang digunakan oleh para mahasiswa, aktivis, kader partai politik, jurnalis, pegiat literasi, event organizer, dan tim pemenangan untuk berkumpul menyusun siasat. Konon, Mato Kopi didirikan di atas tanah bengkok desa dengan hak pakai, bukan hak milik. Konon juga, warung kopi ini berdiri paling awal sebelum warung kopi lain merebak di Yogyakarta.

Tapi jangan khawatir, kendati pengunjungnya banyak berbicara perihal kondisi dan situasi negeri ini yang melulu polemik dengan sudut pandang politis, si pemilik Mato Kopi justru mengambil langkah yang dinilai cukup religius. Pasalnya setiap kali adzan dikumandangkan, setiap itu juga kasir tidak menerima pesanan selama kurun waktu satu jam. Kata teman saya, “Itu sebagai bentuk penghormatan”.

Oh iya, salah satu bentuk penghormatan dalam konteks lain, bisa kita lakukan melalui cara mengenal beragam warisan nenek moyang kita, salah satunya rumah. Di Jawa ada rumah joglo misalnya. Rumah yang telah menjadi khazanah budaya mulai dari sekian ratus tahun lalu dan dijaga sampai hari ini supaya tidak punah. Ya meski pun, nilai nguri-nguri hari ini harus dibalut dengan orientasi investasi berbuntut keuntungan.

Saat itu teman saya cerita mengenai rumah joglo warisan mbah buyutnya. Cerita itu memicu diskusi yang membuat nasi pecel traktiran tidak menguap sia-sia. Ada banyak yang dikomentari, tapi saya hanya menimpali berdasarkan pengalaman bertanya pada sesepuh di rumah tempo dulu.

Kita tentu masih ingat, di masyarakat kita dulu sangat akrab dengan pernyataan bahwa banyak anak, banyak rezeki. Maka tidak mengherankan jika keturunan bapak-ibu, atau kakek-nenek kita memilik belasan saudara. Sampai-sampai kita hari ini agak kesulitan jika disuruh merunut urutan kerabat, siapa anak siapa. Bahkan ada yang sampai tidak bisa dilacak lagi ke mana perginya kerabat-kerabat tersebut.

Kemudian di satu sisi, dulu masih ada banyak lahan-lahan kosong yang belum digunakan. Sehingga pertanian yang ditunjang peternakan menjadi mata pencaharian utama mayoritas nenek moyang kita. Memang ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, namun kuantitasnya tetap kalah jumlah dibanding mereka yang bekerja sebagai petani. Maka semakin banyak anak, semakin ringan pekerjaan yang dilakukan di sawah, semakin irit juga biaya yang dikeluarkan.

Ya wajar saja, di masa itu kebutuhan hajat hidup tidak sekompleks, semahal, dan serumit hari ini.

Tapi berangkat dari dua alasan itu, masyarakat Jawa akhirnya memilih membangun rumah joglo. Rumah besar dengan pembagian tiga ruang. Rumah joglo di masa lalu ini cukup untuk menampung banyak anak, sekaligus hasil panen dari sawah yang melimpah. Rumahnya memang terkesan sederhana dan apa adanya. Tapi jangan salah, sudah ada sejumlah riset ilmiah yang menegaskan bahwa bangunan itu sarat akan makna, mulai dari genteng sampai lantainya, dari belakang sampai halaman depannya.

Hanya saja saya mengasumsikan berakhirnya nguri-nguri rumah joglo ini dimulai di masa orde baru. Masa yang menggiurkan banyak orang untuk masuk ke jajaran pemerintahan, menjadi guru, dan pegawai di kantor. Masa orde baru ini kemudian disokong oleh program pemerintah mengenai keluarga berencana dengan dua anak cukup.

Pada akhirnya banyak generasi yang datang belakangan berupaya merombak rumah joglo menjadi rumah yang minimalis dan tentunya higienis. Beberapa memang masih ada yang mempertahankan rumah joglonya, tapi jumlahnya relatif sangat sedikit. Dan dari jumlah yang sangat sedikit itu, mungkin hanya sangat-sangat sedikit yang benar-benar melestarikan rumah joglo karena didasarkan pada nilai gunanya, bukan nilai estetika semata atau  keuntungan kapital saja.

Ya tulisan ini hanya hasil diskusi kecil di warung kopi, toh dilengkapi apalagi dikritisi juga tidak masalah. Mari ciptakan ruang diskusi yang sehat dan berkhasiat tahan lama. Hehe.

3 komentar:

KangNoerhadi mengatakan...

Siip Om Geng... Tetep istiqomah menulisnya... Dan akan selalu mengagumi skaligus penikmat setia dr tulisan panjenengan yang gurih nikmat.

KangNoerhadi mengatakan...

Dan saya...akan...

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Terimakasih pak atas apresiasinya...