Selamat malam dan beristirahat di hari Senin teman-teman. Awal pekan memang menjadi hari yang tidak mudah. Meski kita terlihat payah untuk melakoninya, tapi saya rasa menyerah bukan pilihan yang lumrah. Mengingat kebutuhan hajat hidup manusia hari ini yang semakin tidak murah.
Oh iya, berbicara tentang tuntutan hidup, kita tentu masih ingat dengan jelas berbagai macam kasus korupsi yang dilakukan oleh petinggi di negeri ini. Masa-masa sulit yang harusnya diisi dengan laku berbagai, bagi mereka justru dijadikan momentum untuk melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Uang yang seharusnya dialokasikan untuk membantu meringankan beban masyarakat agar tidak terlalu sulit, malah dikonsumsi untuk golongan pribadi.
Fenomena ini memicu reaksi geram dari berbagai macam elemen masyarakat, terutama para petugas medis yang bekerja di garda terdepan guna menuntaskan pandemi ini. Beranda di media sosial saya juga didominasi oleh jeritan teman-teman saya dengan memberi perbandingan, antara bantuan yang diterimanya dengan uang yang masuk di kantong pejabat pemerintah jauh berbeda nominalnya.
Melihat itu saya teringat pada makna yang diberikan oleh orang Jawa tempo dulu terhadap berbagai kata-kata. Menariknya, serapan makna dari kata-kata ini diambil bukan dari khazanah peradaban Yunani, atau kemajuan Sumeria dan Babilonia, apalagi Arab, tapi justru diambil dari kearifan lokal dengan elaborasi antara kejadian-kejadian di sekitarnya dan pengetahuan menyingkat, tanpa mereduksi kedalaman maknanya. Ya salah satunya kata ngaji. Profesor antropogi Bambang Pranowo, di bukunya berjudul ‘Memahami Islam Jawa’, ia menulis makna yang unik dan baik mengenai kata ngaji ini berdasarkan penelitiannya.
Ngaji dimaknai dengan angka-angka yakni ‘nga’ atau sanga (sembilan) dan ‘ji’ atau siji (satu). Sanga dan siji sama-sama angka ganjil, sedangkan jika dijumlahkan akan ketemu angka sepuluh yang berarti genap. Maka jika ada orang yang meniti jalan ngaji, berarti orang tersebut sedang menggembleng dirinya agar menjadi manusia yang genap atau sempurna.
Kata sanga di atas juga dimaknai oleh orang Jawa sebagai lubang sembilan yang dimiliki oleh tubuh manusia. Kesembilan lubang ini cenderung membawa manusia pada perilaku yang buruk. Kalau mau instrospeksi, dalam 24 jam, prosentase mulut kita antara ucapan kata-kata yang baik-bijak dengan yang buruk-menyakiti lebih banyak mana. Atau mata misalnya, dalam 24 jam, prosentase penggunaannya untuk hal-hal yang bermanfaat dengan yang sia-sia lebih banyak mana. Maka dari itu, untuk menyeimbangkan dan mengendalikan yang sanga diperlukan yang siji ini, yaitu olah jiwa atau ruh. Dengan begitu, manusia akan bisa selamat di dunia dan nanti di akhirat.
Karena dengan melalui yang siji ini juga, manusia bisa menjadi benar-benar sebagai manungso. Makna ‘man’ artinya iman atau kepercayaan, ‘nung’ atau ‘dumunung’ terletak di tubuh sebelah kanan yang memiliki makna mengerti, dan ‘so’ atau ‘rumongso’ terletak di tubuh sebelah kiri yang bermakna merasa. Maka manungso itu sejatinya telah memiliki kepercayaan (agama), mampu memahami segala sesuatu yang ada di sekelilingnya (ilmu pengetahuan), dan bisa menjembatani keduanya melalui rasa atau perasaan (etika dan estetika).
Nah, bisa jadi para petinggi negeri yang korupsi di masa pandemi ini, hanya menuruti yang sanga itu tanpa mengasah kepekaan yang siji. Sehingga kondisi tubuh menjadi timpang, tidak seimbang lagi. Akhirnya nafsu menjadi lebih dominan ketimbang kalkulasinya untuk membantu sesama atas nama kemanusiaan.
Dan semoga kabar yang membuat geram ini, tidak menyurutkan banyak pihak untuk tetap mendarmakan hidupnya kepada mereka yang membutuhkan.
Salam hangat dan sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar