Sabtu, 21 November 2020

Menjadi Peneliti


Malam sudah larut. Jarum jam merangkak ke angka 1. Yogyakarta mengalami dini hari yang sunyi. Namun berbeda dengan grup whatsapp kuliah yang baru mendapati kabar bahwa keesokan harinya, kami semua diajak untuk mengikuti kuliah pengganti di hari kemarin yang tertunda karena pengampu mata kuliah sedang ada kegiatan yang tidak bisa digantikan. Grup pun kembali riuh dan menyala, melebihi sorot lampu jalanan yang diterkam hawa dingin dan kesendirian.

Kuliah pengganti itu dibersamai dengan acara webinar yang diselenggarakan oleh IAIN Kendari dengan perbincangan mengenai riset. Ada tiga pemateri yang berbicara dengan latar belakang dan basis keilmuan yang berbeda. Ketiganya menyajikan materi yang menarik, yang disesuaikan dengan kecenderungan disiplin ilmu yang digeluti. Kendati penerapan metode risetnya  ada yang lapangan dan teks, namun secara garis besar, ketiganya berangkat pada metode penelitian kualitatif. Metode yang memang cocok untuk memotret fenomena keagamaan yang telah dan sedang berlangsung di sekitar kita.

Memang sebagi peneliti dari kampus berbasis Islam, agama tidak hanya diposisikan sebagai seperangkat dogma semata yang diikuti oleh pemeluknya secara taat. Orang muslim menunaikan shalat lima waktu, teman-teman dari katolik berangkat ke gereja, atau mereka yang dari hindhu pergi ke vihara. Tidak. Tidak hanya sebatas itu.

Peneliti juga tidak tertarik tentang persoalan penilaian lintas agama yang menjurus pada benar dan salah. Sebab agama yang telah menjadi laku keseharian, baik mereka sebagai penganut enam agama yang resmi maupun penghayat kepercayaan yang tengah tersendat-sendat memperjuangkan haknya, memiliki legitimasi atau dasarnya masing-masing. Dan itu tidak boleh dipotret dari kacamata lintas agama.

Para pemateri juga mengingatkan bahwa tugas peneliti hanya menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis secara ilmiah sekaligus rasional dari berbagai fenomena agama yang terjadi di masyarakat. Misalnya kenapa orang nahdliyin suka melakukan ziarah? Pertanyaan ini bisa memicu dua jawaban yang berseberangan. Bagi kacamata penganut nahdliyin mungkin akan dijawab dengan dhawuhe kyai ngoten. Tapi bagi peneliti, jawaban seperti itu cenderung bias dan memicu klaim. Sebab mereka melakukan ziarah tidak berangkat dari kesadarannya sendiri. Di sisi lain, ”dhawuhe kyai“ ini juga menarik demarkasi dari mereka yang tidak melakukan ziarah. Akhirnya muncul dikotomi, yang melakukan ziarah mungkin menganggap dirinya santri dan yang tidak akan dianggap bukan santri.

Bagi peneliti, jawaban seperti ini akan memicu problematika yang entah kapan akan mencapai titik pangkal berkesudahan.

Maka peneliti akan mengejar jawaban ini sampai menemui titik penjelasan yang rasional. Mungkin jawaban yang dihasilkan akan mengarah pada ranah psikologis, misalnya akan merasa tenang bagi pelaku ketika usai melakukan ziarah. Atau ziarah ini dipercayai sebagai ritus tertua yang dimiliki oleh umat Islam ketika ditarik dalam konteks historis ziarah umat Islam di Kakbah yang ada di Makah. Kita menyebutnya sebagai haji. Narasi ini merujuk pada uraian di bukunya Karen Amstrong bertajuk A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam.  Atau bisa juga ziarah mengarah pada upaya pencarian kapital versi Karl Marx yang menempatkan semua motivasi yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya adalah ekonomi. Maka ziarah dilakukan sebagai perantara bermunajat agar usaha dagangnya bisa laris.

Semua jawaban yang telah ditemukan itu dapat dikritik, didebat, diruntuhkan, bahkan diganti dengan jawaban yang baru. Tinggal peneliti ingin mengarahkan risetnya ke mana, data yang dibutuhkan apa, dan kacamata teori yang digunakan apa.

Catatan menarik disampaikan oleh salah satu pemateri yang mengibaratkan peneliti itu seperti petani. Kalau mau data yang banyak, jangan hanya melihat sawah dari satu sudut saja, tanpa berkeliling atau masuk bergelut dengan lumpur untuk menanam padi. “Dan peneliti di Indonesia, kebanyakan tidak mau mengelilingi sawah, apalagi nyebur ke lumpur. Makanya riset-riset kita itu tidak mendalam, dan jarang mendapatkan temuan-temuan baru seperti mereka (peneliti) dari Barat”, ujarnya.

Usai mengikuti webinar riset sembari menjaga mata untuk tidak terlelap, saya menyadari, bahwa menjadi peneliti itu tidak cukup hanya dengan mengantongi data yang banyak melalui wawancara atau google form saja, tapi juga harus menguasai seperangkat metodologi, teori, dan jeli terhadap perkembangan dinamika perubahan dari objek yang sedang diteliti. Ya menjadi peneliti itu susah-susah-susah gampang sih!

2 komentar:

prianto mengatakan...

Lanjut Pak Sugeng, semoga sukses studynya

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Amin pak, pengestunipun.