Rabu, 27 Januari 2021

Manusia, Kerja, dan Asmara

 

Selamat beraktivitas teman-teman, semoga apa yang sedang dikerjakan bisa lekas tuntas. Perkara hasilnya seperti apa, tentunya kita tidak bisa mengintervensi. Paling banter kita hanya bisa memprediksi kemungkinan terburuk dan terapiknya.

Ada kalimat menarik dari Sutan Sjahrir yang bisa menjadi pelecut bagi kita ketika sedang loyo dan menggerutui nasib yang tidak memihak. Kalimatnya, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”. Kalimat yang saya rasa cocok bagi siapa pun, kapan pun, dan di mana pun yang tengah ngos-ngosan meniti jalan kesuksesan sejengkal demi sejengkal.

Pada dasarnya manusia memang diberi daya untuk berusaha bekerja. Pergi ke sawah menanam dan memanen padi, ke luar negeri demi kehidupan layak untuk anak istri, ke pasar berjualan sayur atau pakaian, dan berangkat ke kantor untuk merampungkan setumpuk laporan merupakan kerja-kerja manusia yang sedikit banyak masih lazim ditemui di masyarakat kita. Belum lagi durasi kerja yang kadang menyita waktu untuk bersua dengan keluarga atau sekadar nongkrong bersama teman. Kalau boleh dikata, mungkin semua itu dominan rasa lelah-payahnya daripada rasa suka-bahagianya.

Kendati begitu tetap harus disyukuri. Kata Kahlil Gibran dalam sajaknya, “Hidup itu memang kegelapan, jika tidak ada dorongan // Namun semua dorongan itu membutakan, jika tidak ada pengetahuan // Pengetahuan itu bisa menjadi kosong, jika tidak ada pekerjaan // Dan pekerjaan akan menjadi sia-sia, jika tidak ada cinta di dalamnya”. Ya cintailah pekerjaanmu, apa pun itu. Dan bekerjalah demi orang-orang yang kamu cintai, siapa pun itu. Kira-kira begitu pesan yang ingin diutarakan Kahlil Gibran.

Perkara hasilnya, ya kita kembalikan kepada Maha Kaya di seluruh semesta ini. Bisa jadi kerja yang disertai cinta siang malam hasilnya hanya pas untuk kebutuhan keseharian. Kadang ada juga yang sudah merasa berupaya maksimal, eh di akhir malah kena musibah yang tidak pernah diduga. Ada lagi yang bekerja tak pernah jengah, tapi kondisi ekonomi keluarga tidak lekas terangkat. Ya semua itu kuasa-Nya, yang mungkin sering kita nilai kurang pas.

Kalau hitungan para hamba, kerja keras harusnya memicu hasil yang memuaskan. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mungkin jika kita diberi hasil sepadan atau lebih banyak, kita akan terlena dan malah lupa kepada-Nya. Kalau kata para sufi, “Dengan kamu diberi rezeki yang kurang, Allah sebenarnya sayang denganmu. Allah tidak ingin kamu meninggalkannya. Allah ingin berlama-lama dekat denganmu, melalui doa-doamu itu”. Ya Allah Maha Mengetahui Segalanya.

Kalimat dari Sutan Sjahrir di atas sebenarnya juga bisa berlaku selain pada dunia kerja, misalnya dunia asmara. Belakangan ini ramai di media sosial film bertajuk Sobat Ambyar. Film yang menurut saya sesuai dengan semangat zaman anak kelahiran setelah tahun reformasi, yang lebih doyan hal-hal berbau melankolis dan menguras emosional.

Setelah melihat sampai khatam, tebakan saya benar, dari awal sampai akhir film itu mendefinisikan perjalan pemuda yang tuna asmara. Asmara yang mulanya kesampaian, tapi janji yang telah diutarakan harus pupus tidak sampai ke pelaminan. Jatmiko, pria malang yang salah mengalamatkan cintanya. Sedangkan Saras menjadi perempuan yang menurut saya bukan tega, tapi realistis. Bahwa cinta tanpa uang bisa makan apa? Hehehe.

Tapi yang patut digarisbawahi ialah ikhtiar Jatmiko yang mempertaruhkan asmaranya pada Saras dengan segenap daya, harta, dan pikirannya. Ia ikhlas membantu Saras merampungkan tugas akhir, mengajak jalan dan makan, membelikan kalung emas, membelikan boneka, dan tentu saja memberinya selamat ketika Saras memberi undangan pernikahannya dengan Abdul. Jatmiko telah mengejawantahkan semangat Sutan Sjahrir dalam laku asmara, meski hasilnya harus legowo. Dan kita yang muda dan bergairah, bisa memilih Jatmiko sebagai suri tauladan soal pasrah menerima keadaan.

Salam perjuangan.

Tidak ada komentar: