Rabu, 03 Februari 2021

Kampung Halaman, Ziarah, dan Kopi

Di masa seperti ini, bersua dengan keluarga menjadi impian bagi siapa saja yang sedang merantau. Terlebih jika berjarak tidak hanya dengan tempuh kilometer, tapi juga jarak biaya yang rasanya menjadi mahal. Maka syukur boleh diucap berulang kali kala siapa saja bisa bersua keluarga, saat ini juga.

Kemarin saya memberanikan diri untuk mudik bertemu keluarga di kampung kelahiran. Biasanya pada akhir bulan saya menyempatkan untuk bersua dengan mereka. Namun saat pandemi bergulir, rasa-rasanya baru kemarin dan sepekan di hari fitri saya kembali. Beberapa kali saya niatkan pulang, beberapa kali juga niat itu hanya menjadi sepanjang galah. Tidak lebih.

Di masa pandemi begini, tidak hanya ekonomi dan pendidikan saja yang terdampak. Rindu-bertemu juga harus berjalan lamban, atau malah dipaksa untuk tertahan.

Sekembalinya saya ke rumah yang dulu sampai sekarang menjadi saksi hidup, saya langsung mencuci diri kemudian merebahkan badan di pembaringan. Rasanya seperti habis menunaikan tugas berat, jauh, peluh, dan ngos-ngosan. Sehari itu saya berwicara dengan kedua orang tua perihal kondisi di Yogyakarta dengan segala tetek mbengeknya.

Hari kedua saya mengajak teman untuk mengisi kembali rohani ke pusara terakhirnya Syaikh Basyaruddin di Bukit Mbolo. Menilik tapak historisnya, Syaikh Basyaruddin ini dikenal sebagai penasihat bupati Ngrowo –nama kabupaten sebelum berganti menjadi Tulungagung. Menurut Agus Ali Imron Al Akhyar, bupati Ngrowo ke-I Kiai Ngabehi Mangoendirono, ke-II Tondowidjojo, dan ke-III R.M. Mangoennegoro merupakan murid Syaikh Basyaruddin.

Tentunya cerita mengenai karomahnya cukup banyak dan tersebar di masyarakat. Sampai-sampai banyak peziarah yang mukim, bermalam, dan berharap mendapat pituduh terkait hajat atau problem yang tengah digeluti. Saya tidak berurusan dengan kepentingan mereka, tapi bagi saya, menziarahi dan mendoakan sebagai murid spiritualnya saja sudah cukup.

Ada beberapa teman, kala saya unggah foto berkait makam menjurus pada klaim klenik. Entah itu guyon waton, sekadar iseng, atau memang disengaja. Kerapnya saya hanya menyahuti bahwa ini hanya tanda hormat saya yang kala hidupnya tidak turut duduk bersimpuh mendengar kajian agama, atau tidak ikut menyolatkan saat nafas terakhirnya dihembuskan.

Nah, usai melakukan itu saya mesti selalu mampir ke warung kopi. Aktivitas lazim yang oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja mudah dijumpai di Tulungagung. Meskipun, fakta bahwa Tulungagung bukan penghasil komoditi kopi terbaik dan terbanyak di negeri ini memang benar adanya. Tapi ya itu tadi, geliat ngopi melebihi geliat beribadah, apalagi geliat literasi.

Ada Warung Kopi Waris dan Mak Tin yang legendaris. Saya pernah bersua dengan teman dari Surabaya, ketika tahu asal saya dari Tulungagung, pertanyaan pertama yang dilempar ialah di mana rumah saya dari Warung Kopinya Waris? Pertanyaan itu membuat saya berhenti sejenak dan bergumam dalam batin, “Lho kok ngerti?”

Ternyata teman saya dari Surabaya itu pernah beberapa kali ngopi di sana. Katanya rasanya khas, beda dengan kopi dari daerah lain. Dan pengakuan serupa juga sering saya dengar dan jumpai dari teman lain, dari luar daerah Tulungagung.

Hanya saja warung kopi di Tulungagung masih menjadi ruang yang didominasi oleh aktivitas sepele, remeh, dan temeh. Sebagai ruang publik yang mayoritas diisi oleh pemuda, patutnya bisa digunakan untuk hal yang lebih positif. Tidak perlu setiap hari, ya sepekan atau sebulan sekali dialihkan untuk aktivitas yang dapat menaikkan level diri menjadi lebih baik. Itu kalau bisa. Kalau belum bisa, ya diniati saja dulu.

Salam kangen kampung halaman.

Tidak ada komentar: