Belakangan ini banyak beredar kabar yang memantik kesadaran kita. Dulu yang mungkin kita tidak peduli, emoh tahu, dan tidak terbayang bersentuhan dengan hal itu, kini harus berurusan dengan durasi yang tidak bisa dipastikan selesainya.
Kesadaran itu yang pertama-tama berkaitan dengan rasa welas asih sebagai manusia. Kang Dol, penjual bakmi langganan saya kemarin urung untuk jualan. Ia ngambek. Beberapa kali ia menggelar dagangannya, beberapa kali juga petugas menertibkannya. Meski penertiban yang dilakukan masih lebih lunak dibanding video pedagang di Sukoharjo, Jawa Tengah yang viral di media sosial kemarin.
Ia menyadari bahwa ia sedang berjudi dengan keadaan. Pasalnya berjualan makanan di masa seperti ini, potensi untuk tidak didatangi pembeli cenderung lebih dominan. Risiko gelaran dagang utuh, kemudian dibawa pulang kembali lebih besar, daripada ludes-laris-manis.
Hanya saja ia terbayang dengan nasib keluarga. Menghidupi empat anak, satu istri, dan mertua bukan perkara yang rampung dengan wacana dan rencana. Harus ada tindakan yang menghasilkan kapital, meski tidak seberapa.
Kendala dari sesama ini belum diakumulasikan dengan kendala yang datang dari alam. Hujan misalnya. Beberapa kali saya memergoki status WhatsApp miliknya berisi kalimat penguat dan motivasi diri. Dari membaca statusnya saja saya sudah terbayang rasa marah, jengkel, mengeluh, menguatkan, harapan, dan pasrah bercampur menjadi satu.
Saya rasa ada banyak yang senasib sepenanggungan seperti yang dialami oleh Kang Dol. Meski ia tidak berjualan makanan, meski juga ia belum berkeluarga. Tapi siapa sih yang tidak pernah bertemu dengan masalah?
Merujuk wejangannya para arif, masalah itu bisa membuat pribadi manusia menjadi lebih baik dan berpengalaman. Manusia bisa tumbuh kedewasaannya dengan bersua masalah, bukan karena pertambahan usia. Bisa jadi masih kepala dua tapi karena sering berhadapan dengan masalah, daya tangkap dan sikapnya malah melebihi mereka yang usia kepala lima.
Oh iya, bicara soal hujan kita patut berwaspada. Belakangan ini hujan mengguyur sejumlah daerah tanpa ampun. Beberapa ada yang memaknainya sebagai semesta sedang marah. Mereka yang sepakat dengan ini memberi argumen dengan menyesuaikan laku merusak manusia, yang dalam kurun satu dekade ini marak dilakukan tanpa ada rasa bersalah.
Tanggapan ini tidak sepenuhnya keliru jika merujuk pada fakta. Hanya saja yang kurang pas menurut saya adalah ketika tanggapan ini menjadi benteng bagi kita untuk emoh melakukan pembangunan. Bagaimana pun pembangunan itu penting. Tapi fokusnya ya jangan melulu pada kemajuan, tapi juga memperhatikan lingkungan dan mengingat bahwa anak keturunan yang datang akhiran. Mungkin dengan begitu, semesta tidak marah lagi.
Ada juga tanggapan yang lebih enteng dan sederhana. Mereka yang tergabung di kelompok ini hanya memberi respon bahwa memang sudah seharusnya musim penghujan. Maka mungkin di sejumlah daerah curah hujan tinggi, sedang daerah lain agak ringan.
Perkara banjir, mereka menilai itu sudah lumrah untuk kota-kota tertentu. Kebijakan dan pemerintah yang telah ganti berkali-kali, nyatanya tidak mampu menangani krisis iklim yang tengah terjadi. Semua hanya berhenti pada gelontoran dana untuk membuat kebijakan dan peraturan, tapi perwujudannya di lapangan malah dikorupsi.
Terlepas kita sepakat pada tanggapan yang mana, atau malah memiliki tanggapan sendiri, bagi saya yang terpenting ialah melakoninya dengan sepenuh hati. Toh dalam kitab suci sudah ditegaskan bahwa setiap masalah, pasti ada jalan keluarnya. Pun begitu setiap kesulitan ada kemudahan. Dan mungkin kita sekarang sedang berada pada fase sulit. Kalau mudah-bahagia terus malah wagu. Hidup kok egak ada ngeluh-ngeluhnya.
Salam kuat.
4 komentar:
Hidup memang penuh dinamika.
Karena urusan perut banyak orang menjadi nekad. Inilah yang harus dicari solusi terbaiknya. Pihak berwenang seharusnya tidak sekadar melarang dan melarang
Leres pak
Iya pak, kadang urusan perut dalam sekejap juga bisa menurunkan harga diri manusia.
Posting Komentar