Pengalaman bertemu buku pada setiap manusia itu berbeda-beda. Ada yang memang tidak mau bersentuhan dengan buku sama sekali. Mendengar dan melihat saja sudah membuat kepalanya pusing. Apalagi buku-buku teori. Selain kuantitas halamannya kadang memang lebih banyak, bahasa yang digunakan juga bahasa baku. Bahasa yang membosankan dan berjarak dengan obrolan kita di keseharian.
Ada juga yang menyukai buku-buku tertentu. Kalau bertemu dengan novel, komik, atau cerpen dengan tajuk apa saja dan di mana saja mesti ia khatamkan. Kadang malah ada yang membacanya dengan cara maraton, yang jedanya saja bisa dihitung jari. Pengalaman seperti ini biasanya karena pengaruh lingkungan yang mendukung, entah ia di rumahnya ada rak berjajar buku-buku rapi, atau ia bergabung di komunitas tertentu yang memiliki semangat tinggi berliterasi.
Selanjutnya ada lagi pembaca yang selektif. Memang ada banyak buku dengan judul, muatan, dan pesan yang sama. Tapi pembaca yang selektif akan memilah tergantung dari kecenderungannya. Bisa jadi penulisnya, penerbitnya, harganya, penerjemahnya, atau malah cover bukunya. Mungkin di antara teman-teman kita ada yang berlaku begitu. Kalau tidak penerbit ini, tidak mau beli. Kalau bukan penulisnya orang ini, rasanya ada yang kurang.
Terakhir ada pengalaman berbuku yang membabat habis semuanya. Apa pun itu, selama berbentuk buku, pasti akan dibeli dan dibacanya. Bahkan saking banyaknya buku yang dimiliki, ia bisa membuka perpustakaan sederhana di rumah yang kemudian bisa diakses oleh tetangga, kerabat, calon jodohnya, atau siapa saja yang kebetulan singgah. Pengetahuannya memang meruah, hanya saja tidak fokus apalagi mendalam.
Pembedaan pengalaman bertemu buku ini tidak bisa tegas dan jelas. Sebab bisa jadi bentuknya seperti fase, yang ketika muda menjadi pembaca selektif tapi saat menua sudah emoh bersentuhan dengan buku. Bisa jadi juga dalam waktu bersamaan suka buku tertentu, tapi juga ingin membaca semua buku yang ada.
Dan pengalaman saya bertemu buku dimulai dari mencuri buku cerita milik perpustakaan sekolah dasar. Karena saat itu, perpustakaan yang ada dibuka hanya di jam sekolah. Sedang durasi baca saat di sekolah hanya waktu istirahat yang tidak lebih dari 30 menit. Belum terpotong dengan antri jajan, main bola, atau merencanakan bermain usai pulang sekolah. Ya sudah, tanpa ampun beberapa buku cerita yang saya rasa bagus pada saat itu saya masukkan ke tas dan dibawa pulang.
Bagi saya mencuri itu memang tidak dibenarkan. Namun lebih tidak dibenarkan lagi jika buku sudah dibeli dan ruang baca diadakan lantas dibiarkan mangkrak. Toh Barat bisa maju juga karena mencuri pengetahuan dari peradaban emas umat Islam di masa silam. Hehe, ini hanya pembelaan saja sih.
Pencurian awal ada tujuh buku cerita yang saya bawa pulang. Setelah rampung saya baca, saya kembalikan kemudian saya tukar dengan buku cerita yang belum saya baca. Begitu terus-menerus sampai saya kelas enam, yang mau tidak mau menanggalkan buku cerita kemudian beralih ke buku pelajaran berjejal materi yang agak menjemukan.
Satu buku cerita yang saya bawa pulang dan hilang itu berkisah tentang Khulafaur Rasyidin, yang tebalnya kalau saya tidak salah ingat sekitar 300-an halaman. Penulis dan penerbitnya saya lupa, sampulnya juga sudah sobek ketika buku saya alih pindahkan. Buku itu saya bawa ke mana-mana dan berhasil menamatkannya sampai empat kali.
Saya rasa setiap pembaca memiliki pengalaman berbuku yang berbeda, yang setiap pengalaman itu memiliki daya ingat berkepanjangan. Meskipun di kemudian hari pembaca itu tidak lagi bertemu apalagi membaca buku. Ya minimal, ini minimal saja, kita akan bersua dengan buku nikah, kalau memang buku cerita, novel, kumpulan cerpen, apalagi buku teori emoh kita temui.
Salam berbuku.
3 komentar:
Matur nuwun inspirasinya
enggeh sami-sami ....
Bagian terakhir ngena sekali mas ��
Posting Komentar