Setiap manusia memiliki jalannya masing-masing. Setiap jalan memiliki ceritanya sendiri. Setiap cerita selalu ada satu dua hal yang tidak bisa dilupakan begitu saja, entah itu kenangan yang indah atau kenangan yang melulu membuat manusia gelisah.
Banyak para filsuf, tokoh agama, dan para sufi yang memberi terang ihwal hidup sejati. Hidup yang didarmakan tidak hanya untuk menuruti kebutuhan nafsu belaka, melainkan untuk sesama dan semesta. Dengan catatan, semua dilakukan dengan cara-cara yang arif.
Dalam Islam ada petuah sederhana perihal makanan yang saya rasa dapat dijadikan permisalan paling sederhana dari ejawantah hidup yang arif. Jika kita tengah membuat masakan, kemudian aroma masakan itu sampai tercium hidung orang lain, maka orang lain itu boleh kita tawari untuk mencicipi masakan kita. Atau kita juga boleh memberinya barang seporsi dua porsi.
Petuah ini bisa saja dimaknai sebagai sedekah yang bernilai pahala. Memberi makanan kepada orang lain, nantinya akan dibalas oleh-Nya melebihi apa yang telah kita berikan. Dan makna seperti ini lazim ditemui pada masyarakat kita.
Nenek saya dulu kerap berbuat seperti itu. Memasak tidak pernah dengan wajan yang kecil. Ia selalu menggunakan wajan besar. Setelah rampung, nenek menakar masakannya ke dalam beberapa piring untuk dibagi-bagi ke tetangga dekat. Saya menjadi cucunya yang sering mengantarkan olah masakan nenek saya itu. Tapi tentu saja, nenek saya sebelumnya sudah menyisihkan untuk dikonsumsi keluarga dengan kadar cukup, bukan berlebih. Kalau ada enam orang di keluarga, ya kira-kira semua kebagian rata.
Dan tetangga saya juga kadang berbalas dengan cara yang sama. Mereka memasak. Setelah rampung, masakan itu ditakar ke piring yang kemarin berisi masakan nenek dan diantar kembali ke kediaman kami. Antar mengantar masakan ini terus berlangsung, sampai nenek saya wafat dan budaya arif semacam ini berhenti.
Pernah sekali waktu saya tanya kenapa kok mesti memberi masakan ke tetangga setiap kali memasak? Nenek saya menjawabnya khas orang pedesaan, yang memang belum ada referensi ihwal sedekah atau kalkulasi untung rugi seperti halnya ilmu ekonomi. Katanya seingat saya, “Ya memberi iku kan apik le. Mumpung kita punya ya kita yang memberi. Toh nanti juga semisal rumah kita sedang kosong, tetangga tanpa diminta secara sukarela akan turut menjaga. Karena apa? Ya karena kita sudah berlaku baik ke mereka, meski hanya dengan cara berbagi seporsi masakan.”
Mendengar jawaban nenek itu, saya hanya manggut-manggut polos ala anak desa. Dan mungkin dalam kurun beberapa tahun saya sudah lupa soal memberi masakan itu. Baru kemarin dengan tidak sengaja saya mendengar ceramah dari ulama yang kini sudah melalang mengisi berbagai pengajian di kampung-kota seluruh Indonesia.
Memang kita akan cenderung kesal jika ada tetangga yang kaya, memiliki usaha banyak dengan penghasilan meruah, namun ia pelit. Diajak untuk berkegiatan sosial enggan, ditarik sumbangan barang sepuluh ribu ruwetnya minta ampun, saat ngopi di warung perhitungan untung ruginya melebihi akuntan, dan tidak pernah memberi makanan meski sedang memasak banyak dan (mungkin) enak.
Beda dengan orang yang tidak kaya-kaya amat tapi gemar memberi. Orangnya juga loyal. Jika diajak bersosial ya berangkat, ditarik sumbangan ya memberi kadang dilebihi, dan kerap menjajakan anak-anak yang sedang bermain di rumahnya meski hanya permen.
Kita mesti akan lebih apresiasi dengan orang yang terakhir. Pun saat ada kemalingan misalnya. Kita akan lebih tergerak menjaga dan membantu orang yang pernah baik dengan kita. Kok orang kaya yang pelit tadi kemalingan, kita mungkin cenderung akan abai dan malah memberi terimakasih pada si pemaling.
Ya mungkin memang gerbang sendok lebih ampuh dan menenteramkan daripada gerbang tembok yang pongah apalagi mewah.
Salam masakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar