Menjelang adzan ashar, saya mendengar dua orang tengah berdebat hebat. Keduanya sama-sama ngotot dan saling menimpali. Tidak ada yang mau kalah. Yang satu merasa pengetahuannya cukup karena telah kenyang dengan asupan pengajian setiap pekannya, sedangkan yang satunya merasa pernah hidup di lingkungan intelektual yang serba buku.
Sebut saja orang pertama itu dengan Pak Mada. Latar belakang pendidikan yang hanya sampai sekolah dasar, memaksanya harus merantau ke luar kota. Ia pun diterima sebagai tukang kebun di sekolahan yang semakin kembang kempis karena meladeni dunia pendidikan yang kian kompetitif.
Namun ia terbilang cukup beruntung. Karena selain disediakan tempat berlelap, ia juga memperoleh jatah makan meski seadanya. Tempat kerjanya juga dekat dengan masjid yang hampir setiap malam menggelar pengajian. Ia juga pernah melaksanakan umroh di Makkah, dari bekal menyisihkan gajinya setelah dikurangi untuk dikirim ke keluarganya di seberang kabupaten.
Sementara orang kedua sebut saja dengan nama Pak Sunu. Latar belakangnya yang berpendidikan magister di kampus swasta, membuatnya tidak kerasan bekerja di kantoran, berdasi, dan di ruang tertutup. Ia pernah mengaku emoh bekerja di balik tembok. Ia lebih senang bekerja di luar, menikmati cengkerama dengan orang lain, dan bergurau tanpa harus mumet dikejar deadline. Ia memilih bekerja sebagai tukang becak.
Kendati sebagai tukang becak yang belakangan mulai digeser dengan gojek dan grab, Pak Sunu tetap telaten menekuni pilihan yang telah ia jalankan berpuluh tahun lamanya. Ia tidak menyesal. Ia merasa malah mendapat pelajaran kehidupan lebih banyak dan dalam lagi.
Memang harus saya akui, sensitifitas sosialnya cukup tinggi. Ia bisa memberi terang dan menuduhkan indikasi gejala sosial di sekitar kita, mulai dari yang besar-besar sampai yang ringan-ringan, seperti misal kemacetan, korupsi, atau melambungnya harga cabe di pasar. Ia juga fasih berbahasa Inggris.
Saya kerap menduga-duga ihwal pengetahuan yang diperoleh Pak Sunu ketika bersua duduk bersama. Mungkin saja itu hasil dari perbincangan santai dengan orang-orang biasa di kesehariannya? Atau bisa jadi dari akumulasi pengetahuan yang ia peroleh dari bangku akademisi kemudian dielaborasi dengan kehidupan nyata yang telah ia jalani? Atau malah hasil mendengar obrolan dari penumpangnya yang mayoritas guru besar di kampus-kampus itu?
Baik Pak Mada maupun Pak Sunu dalam kacamata kita kerap dilabeli sebagai orang pinggiran. Label itu datang bukan dengan sembrono tanpa adanya tanda-tanda yang melekat pada keduanya. Biasanya tanda itu seringkali kita lihat dari sisi profesi yang tengah digeluti.
Biasanya orang yang pekerjaannya memakai seragam, rapi, berambut klimis, dan baunya semerbak wewangian dianggap sebagai orang yang berwawasan luas. Anggapan itu tidak sepenuhnya keliru. Karena bagaimanapun, level pekerjaan yang baik dan bergaji tinggi selalu linier dengan kebutuhan kapasitas pengetahuan yang mumpuni. Dan untuk sampai ke tahap itu tidak mudah. Perlu ada ikhtiar, doa, dan dukungan dari semesta.
Tapi mereka yang bekerja di bawah terik matahari, berkeringat, dan pakaian ala kadarnya hampir selalu dianggap tidak berwawasan luas. Kenapa? Karena pekerjaan yang ditekuni ‘dianggap hanya’ menggunakan otot, bukan otak. Akhirnya obrolan yang muncul dari mereka dianggap sebagai angin lalu, guyonan, dan sekadar aduan yang bakal hilang diterpa zaman. Termasuk perdebatan Pak Mada dan Pak Sunu tadi.
Padahal kita kerap kali mendengar bahwa pengetahuan tidak hanya didapat dari bangku pendidikan semata. Kalau setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap waktu adalah belajar, terus kenapa apresiasi dan sedikit terimakasih jarang kita alamatkan pada tukang becak, penjaja makanan di pinggir jalan, petani, dan sebagainya dengan cara memasukkan pernyataan mereka ke dalam obrolan diskusi, tulisan, atau kutipan ilmiah?
Salam orang pinggiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar