Minggu, 28 Maret 2021

Cerita, Ejekan, dan Tantangan Menulis

“Cuma nulis aja, apa sih susahnya?”, ucap teman saya menirukan ejekan yang beberapa saat lalu dialamatkan pada dirinya. Ia terlihat kesal. Sorot mata dan nada bicaranya agak naik, tidak seperti biasanya.

Memang teman saya ini beberapa kali mengikuti kursus menulis. Sebelum ikut, sejak kecil ia telah terbiasa menulis semacam catatan harian. Apa yang ia kerjakan selama hari itu, ia tulis. Ia membudayakan menulis pada dirinya sejak belasan tahun. Itu pun menurutnya masih belum cukup. Dirinya merasa belum piawai menulis.

Tiga tahun yang lalu, teman saya ini berangan-angan menjadi novelis kondang seperti Andrea Hirata atau Makhfud Ikhwan. Ia bangun tengah malam, shalat tahajud dan memulai menulis sampai fajar menyapa. Ia melakukan itu selama dua bulan berturut-turut. Di bulan ketiga naskah selesai dan mulai dikirim ke penerbit. Apa yang didapat? Naskahnya ditolak puluhan penerbit. Dan saking kecewanya, naskah itu ia masukkan ke tong sampah.

Apa yang dialami oleh teman saya itu saya rasa juga dialami oleh banyak penulis lainnya. Kendati baru merintis, label negatif perihal manfaat menulis yang kurang semenguntungkan berjualan pakaian, makelar tanah, atau bekerja di bank kerap dialami. Aktivitas menulis melulu dianggap remeh dan enteng.

Apa benar seperti itu? Saya rasa tidak. Menulis itu justru pekerjaan yang berat, yang tidak bisa dianggap sebagai sampingan.

Pernah sekali waktu saya memperoleh ejekan seperti teman saya di atas. Dengan enteng malah saya tantang balik orang itu untuk menulis selama dua bulan berturut-turut, tanpa jeda, seribu kata, dan topiknya ihwal aktivitas keseharian mulai dari bangun tidur sampai terlelap kembali. Tantangan itu bukan bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin memberi semacam terapi bahwa menulis itu perlu ketelatenan dan tentu saja juga perlu paksaan.

Jika orang itu berhasil, saya memberinya apresiasi, meski nominalnya tidak sebesar UMR Yogyakarta. Dengan berhasil mengatasi tantangan menulis dua bulan, orang itu mungkin merasa puas karena apa yang didakwakan soal menulis itu mudah, ternyata benar. Orang itu mungkin juga akan mengejek saya puluhan kali lipat.

Tapi tanpa disadari, selama dua bulan berturut-turut orang itu telah membangun budaya literasi untuk dirinya sendiri. Ia telah terbiasa menulis setiap harinya. Akhirnya jika hari selanjutnya tidak menulis, hampir bisa dipastikan ia akan merasa ada sesuatu yang kurang. Meski mulainya menulis bukan dari keinginan kuat dari dalam dirinya, melainkan dari tantangan yang saya berikan.

Nah, lantas bagaimana jika orang itu gagal? Berarti apa yang didakwakan ternyata salah besar. Menulis memang tidak mudah. Dari situ ia akan mengetahui bagaimana jerih payah penulis pemula merintis karya-karyanya. Menggali ide, mencari mood yang baik, membaca literatur sebagai penunjang, berdoa, berdiskusi dengan sesama penulis, ikut kursus menulis di sana-sini, bergabung dengan lingkaran para penulis, memperbarui informasi, mempertajam sudut pandang, dan mencari dukungan semesta.

Sayang sekali orang yang saya tantang itu gagal. Sepuluh hari pertama ia geliat menulis dan dibagikan ke saya pada jam delapan malam. Rutin. Memasuki hari ke sebelas, tulisan yang dikirim ke saya tidak tentu. Kadang jam delapan, kadang agak larut malam, kadang malah besoknya. Masuk tiga pekan, ia mengangkat bendera putih. Ia merasa kepayahan.

Menurutnya apa yang ia tulis sudah tidak memiliki mutu seperti tulisan di awal. Padahal kalau saya baca, tulisannya belum bermutu sama sekali sejak dari awal. Tapi tetap saya baca sebagai bentuk apresiasi karena ia telah mau melakoni menulis.

Cerita ini sebenarnya juga berlaku untuk aktivitas atau pekerjaan yang lainnya. Karena pada dasarnya memang tidak ada yang mudah. Semua aktivitas atau pekerjaan memiliki kadar tantangan dan kesulitan yang berbeda. Mungkin yang mudah dan menggembirakan itu jika menerima gaji dan apresiasi lebih dari yang kita harapkan.

Salam menulis.

2 komentar:

spiritliterasi.com mengatakan...

Menulis itu proses sepanjang hidup. Jangan meremehkan karena menulis itu serius

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

inggih pak, leres niku.