Kita telah memasuki pekan awal di tahun 2021. Pekan-pekan yang masih terasa melilit sulit bagi siapa pun. Kendati begitu mensyukurinya dengan sedikit senyum dan kepala tegak saya rasa perlu untuk dilakukan. Ya, kita harus tetap optimis bahwa apa-apa yang telah menjadi harap di tahun kemarin, bisa terealisasikan di tahun ini.
Beberapa hari yang lalu saya menemui status bagus mengenai tips agar rencana kita bisa terwujud. Kalau terpaksa meleset, bidikannya tidak terlalu jauh dari sasaran yang telah kita rencanakan.
Tips pertama, hindari merencanakan sesuatu yang abstrak. Memang rencana seperti “Saya ingin rajin menulis” atau “Saya akan mengelola media sosial milik komunitas menjadi besar” itu apik. Akan tetapi ukuran ‘rajin’ itu seperti apa dan ‘menjadi besar’ itu bagaimana terlalu abstrak, ukurannya tidak jelas. Akan lebih baik jika targetnya diubah menjadi “Setiap tiga hari sekali saya akan menulis” atau “Saya akan mengelola media sosial milik komunitas sampai mendapat follower 1000”.
Tips kedua, rencana yang bagus, terukur, dan target yang jelas akan lebih baik jika diberi batas waktu. Seperti misal pekerjaan yang diberi batas waktu satu bulan, akan selesai. Pun jika pekerjaan itu diberi tambahan waktu sampai tiga bulan, juga akan selesai dalam tempo tiga bulan. Jika tidak ada batas waktu? Ya kemungkinan besar akan menjadi harapan lagi untuk tahun berikutnya.
Tentu kita tidak mau seperti itu. Mencoba hal yang sama, dengan hasil begitu-begitu saja, tapi dilakukan di waktu yang berbeda. Akhirnya kita hanya berjalan di tempat, tanpa perkembangan apalagi kemajuan.
Oh iya, kabar terkait vaksin memberi harapan baik pada kita semua supaya bisa lekas lepas dari masa yang buas ini. Iya, buas. Coba kalau kita mundur pada tahun 2018 misalnya, tentu kita tidak pernah sedikit pun membayangkan akan mengalami situasi yang seperti ini.
Memang ada yang memaknai situasi ini dengan tanda bahwa, manusia memiliki rumah dan keluarga yang hilang rasa hangat karena disita kesibukan kerja tiada jeda. Manusia diminta kembali mengingat-ingat pelajaran agama di masa silam tentang ‘rumahku adalah surgaku’.
Namun ada juga yang mecucu-menggerutu menyikapi situasi ini. Saya rasa wajar, karena bisa jadi usaha yang dirintis dan mulai berkembang untuk bekal masa mendatang, harus menemui kabar mengambang, yang entah kapan akan menuai hasil yang bergelimang lagi. Atau mecucu itu karena salah satu tautan asmaranya bertemu dengan duka.
Tentang duka, dalam kurun beberapa bulan terakhir, negeri ini kehilangan banyak orang apik dan baik. Di Yogyakarta sendiri misalnya, kepulangan Pak Iman Budi Santosa, seorang sastrawan yang belum genap enam bulan, sudah di susul oleh wafatnya K.H. R. M. Najib Abdul Qodir Munawwir, pengasuh pondok pesantren Krapyak Yogyakarta kemarin sore. Saya rasa keduanya merupakan tokoh dengan level yang hampir sama, tapi dalam ranah keilmuan dan wilayah kerja yang berbeda.
Di daerah-daerah lain mungkin juga mengalami hal yang serupa. Terasa lara kala pendahulu yang kita anut dipanggil lebih awal. Bukan karena suatu apa, tapi saya merasa kita yang masih tinggal dalam tempo yang mungkin masih lama ini, belum terlalu banyak menyerap ilmu, wejangan, nasihat, dan kearifan yang dimiliki oleh mereka para pendahulu kita.
Ya, mungkin jalan satu-satunya yang bisa ditunaikan ialah mempersembahkan doa yang tidak seberapa kepada pendahulu kita. Dan saya kira, melanjutkan hidup dan mengeksekusi rencana-rencana yang telah dibuat adalah pilihan yang tepat.
Salam optimis.
4 komentar:
Semoga para tokoh yang meninggal dunia, diampuni segala dosa dan diterima segala amal kebajikannya.
amin amin pak.
Aamiin...
Terima kasih Tip perencanaannya
Sama-sama bu ....
Posting Komentar