Mengawali tulisan ini, saya rasa tidak ada salahnya mengajak teman-teman untuk kembali melakukan introspeksi diri, melihat kembali apa-apa yang sudah kita lakukan di tahun 2020. Mungkin ada beberapa dari rencana kita yang telah berhasil ditunaikan, dan ada beberapa dari rencana kita yang mungkin tertunda karena kedatangan hal-hal yang tidak terduga.
Dari introspeksi itu, kita tidak perlu sungkan untuk mengakui bahwa di tahun 2020, kita ternyata belum beranjak ke mana-mana. Kita melakoninya dengan penuh kemelesetan dari target awal. Hidup kita hanya berkelindan dari satu hal ke hal lainnya tanpa pernah ada terobosan baru yang lebih baru, segar, dan bernas.
Kalau bicara tentang terobosan baru, kita tidak bisa menutup mata pada peran pemuda yang semangatnya masih memuncak. Saya mungkin menjadi salah satunya. Meski saya akui bahwa jika dikalkulasi, durasi untuk hal-hal produktif dan positif cenderung lebih sedikit jika dibandingkan dengan durasi untuk hal-hal yang remeh-temeh dan rebahan.
Kemarin saya menghadiri sarahsehan ‘Anak Muda, Aspirasi, dan Inspirasi Kebudayaannya’ di Pondok Pesantren Kaliopak, Piyungan Bantul (29/12/2020). Pondok pesantren ini terbilang unik, karena bergerak dalam ruang kebudayaan, baik wacana maupun nyata.
Pada gelaran itu, ada tujuh pemuda dengan latar belakangan dan kecenderungan yang berbeda-beda, yang berbicara untuk menyampaikan keresahannya. Secara benang merah, obrolan malam itu bisa saya petakan menjadi tiga keresahan pada tataran kebudayaan, media, dan literasi.
Diakui atau tidak, banyak diantara kita yang semakin berjarak dengan kebudayaan. Di desa saya misalnya, orang yang bisa ngajatne dalam tradisi kenduri terbilang sangat langka. Ya ada, tapi jumlahya relatif sangat-sangat sedikit dan usianya sudah sepuh. Sedang yang muda sudah jarang –untuk mengatakan tidak ada- yang belajar dan siap untuk menggantikan, jika suatu waktu yang sepuh sudah tidak ada.
Belakangan memang para pemuda banyak yang perhatiannya tersedot ke dunia media. Baik dari produksi konten, yang memberi like dan share sampai dengan yang berseteru di dalamnya adalah para pemuda.
Secara kasat mata, media memang membawa dampak yang destruktif (merusak) ke pemuda. Waktu yang patutnya untuk menganyam benang-benang pengetahuan, waktu yang kudunya disisihkan untuk laku prihatin, dan waktu yang mestinya untuk kerja keras, banyak yang disita paksa oleh media.
Hanya saja saya bukan termasuk orang yang setuju utuh dengan pernyataan itu, meski saya sendiri juga tidak bisa menyangkalnya secara penuh. Bahwa media itu memiliki sifat merusak, itu iya. Tapi jangan salah, melalui media juga ternyata ada banyak laku-laku kreatif dari pemuda yang tersalurkan sesuai kegirangannya.
Kita semua mungkin memiliki perasaan yang sama, bahwa keberadaan budaya sebagai nilai-nilai adiluhung jangan sampai tergerus atau malah lenyap tidak menyisakan suatu apa. Pun begitu geliat media juga tetap terakomodasi sesuai dengan porsi konsumsi yang cukup, tidak terlalu melimpah ruah.
Saya rasa kuncinya ada pada geliat literasi. Geliat itu tidak harus membeli dan membaca seharian suntuk sampai khatam bertumpuk-tumpuk buku. Atau menggelar lapak buku berharap ramai dikunjungi banyak orang. Melainkan pada mental yang terus belajar dan memiliki rasa ingin ngerti lebih dalam lagi.
Harus diakui juga bahwa ini perkara yang susah, yang perwujudannya bisa membuat pelaku dan kantong ngos-ngosan tidak karuan. Banyak saya menemui orang yang berkecimpung di dunia literasi harus mengobarkan bendera putih lebih dulu dari rencana yang telah dibuat, atau malah sudah ogah setelah melihat fakta di muka.
Hanya saja sesulit-susah apa pun, ikhtiar serupa ini tetap perlu ditunaikan. meski hanya sepotong-potong, sederhana, dan apa adanya. Melalui literasi yang baik, kita bisa menyelamatkan budaya yang apik sekaligus memoles dan mengisi media sosial kita dengan konten-konten yang ciamik. Ini bisa menjadi harapan, rencana, atau target di tahun 2021.
Salam akhir dan awal tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar