Sabtu, 26 Desember 2020

Desember, Harapan, dan Laku Positif

Bulan Desember sudah menginjak pekan terakhir. Sebentar lagi kita akan bertemu dengan tahun baru. Semoga di tahun baru nanti, semangat kita juga baru.

Bagi saya, Bulan Desember kali ini tidak hanya menandai soal hujan dan banjir yang melanda sejumlah daerah. Hanya saja persoalan yang satu ini memang sudah menjadi rutinitas tahunan bagi warga di kota-kota besar. Bolak-balik pemangku kebijakan diganti, bolak-balik juga air hujan berubah menjadi banjir.

Pekan terakhir di Bulan Desember juga menandai dimulainya polemik yang tidak menemui kata sudah di  setiap tahunnya. Polemik itu soal boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal bagi saudara kita warga kristiani.

Apakah boleh umat Islam mengucapkan Selamat Natal kepada umat kristiani? Kalau boleh bukankah itu sudah membuat kita menjadi bagian dari mereka? Lebih jauh lagi, bukankah itu nanti bisa mempengaruhi akidah keimanan bagi umat Islam? Dan seterusnya, dan seterusnya”. Pertanyaan yang muncul setiap tahun, pihak yang mempermasalahkan, dan jawaban yang sama selalu itu-itu saja.

Sebentar lagi mungkin kita juga dihadapkan pada polemik tentang boleh atau tidaknya merayakan tahun baru dengan petasan dan meniup terompet. Tapi mengingat kondisi yang masih seperti ini, polemik itu bisa jadi malah tidak ada. Atau malah ada dan digoreng oleh media sebagai bahan berita utama.

Soal polemik, kita bisa sedikit bernapas lega dengan terpilihnya Gus Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Latar belakangnya sebagai warga Nahdliyin yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan mengakomodasi budaya lokal setempat, membuat banyak pihak menaruh harapan dan perubahan besar pada Gus Yaqut Cholil Qoumas.

Tentunya masih segar dalam ingatan kita tentang pembantaian yang menewaskan satu keluarga kristiani di Sigi. Pembantaian itu dilakukan oleh anggota ekstrimis Mujahidin Islam Timur (MIT). Kasus itu belum diakumulasikan dengan kasus terorisme dan intoleransi lainnya, yang menelan banyak korban, merusak fasilitas publik, dan meresahkan masyarakat. Kasus-kasus seperti ini menjadi alarm bagi kita semua, bahwa negeri ini memang sedang tidak baik-baik saja.

Saya rasa kita semua memiliki harapan yang sama, bahwa polemik-polemik seperti itu jangan sampai terulang lagi di tahun depan. Selain menguras tenaga dan pikiran, tentunya juga memangkas waktu kita untuk melakukan rutinitas yang lebih positif.

Bicara rutinitas yang positif, ada banyak yang bisa kita lakukan. Terutama untuk mengisi waktu liburan yang tidak kemana-mana.

Kita bisa belajar banyak hal baru dan berguna melalui tutorial yang ada di berbagai media sosial. Atau mengikuti pelatihan tertentu, seperti saya di satu bulan yang lalu mengikuti kelas menulis. Bagi saya kelas menulis ini menjadi ajang untuk mengasah hobi dan menjalin relasi dengan penulis-penulis pemula seperti saya. Kami dimentori oleh Mas Iqbal Aji Daryono, kolumnis di media detik [dot] com.

Atau kalau ada yang ingin melatih hobi memasak, bisa juga. Ada banyak varian masakan yang bisa dibuat dari bahan sederhana dan apa adanya, tapi hasilnya tetap memuaskan selera. Kalau yang ini tidak harus perempuan, pria juga bisa asal sadar bahwa dirinya adalah manusia yang serba mungkin jika mau belajar.

Kalau gerak ke sana-ke mari berat sekali dilakukan, kita bisa menghabiskan banyak waktu selama liburan dengan menonton film di atas tempat tidur. Ada ratusan ribu film yang bisa dikhatamkan dengan cerita-cerita yang unik-menggelitik, yang tentunya akan merangsang kita untuk melakukan sesuatu.

Yah pada dasarnya, perbuatan yang positif bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Tinggal perangai kita saja yang bagaimana, senang berpolemik dengan liyan atau girang melakukan hal-hal baik dan produktif?

Salam akhir tahun.

Tidak ada komentar: