Hai apa kabar? Semoga senantiasa kabar baik yang terucap. Bagaimana pun, tidak ada kabar yang menggembirakan untuk didengar di masa-masa sulit seperti ini selain, “Saya baik-baik saja”.
Hari ini, 22 Desember kita memperingati hari Ibu
se-Indonesia. Peringatan ini tentunya tidak asal, ada banyak rentetan kejadian
yang menjadi latar belakangnya. Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali
digelar pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, ditetapkan oleh Presiden
Soekarno sebagai jatuhnya hari Ibu. Meskipun pada saat itu, keputusan yang
dihasilkan belum bisa direalisasikan sepenuhnya dan anggota yang hadir belum
mewakili seluruh wilayah di Indonesia, namun semangat cita-cita yang diusung
menjadi percikan api yang dapat menyulut semangat perempuan yang datang
sesudahnya.
Kita tahu sendiri, perempuan di masa silam harus menjalani
nasib yang cukup berat. Akses untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, hak
menyuarakan pendapat, apalagi berkiprah di ranah politik menjadi perbuatan yang
amat mustahil untuk dikabulkan. Berbeda dengan kondisi yang dialami oleh perempuan
hari ini yang lamat-lamat mulai membaik. Meskipun harus diakui juga bahwa kasus-kasus
yang merugikan perempuan masih tetap dan terus ada.
Oh iya, saya turut bersuka cita bagi yang masih bisa melihat
wajah ibunya yang mulai sayu dan berkerut termakan usia, tapi tetap menunjukkan
ketegaran untuk emoh menyerah pada keadaan. Saya juga turut berduka cita sekaligus
mendoakan yang terbaik bagi yang hanya bisa bertemu dengan ibu di dalam doa,
semoga ia mendapat tempat yang apik di sisi-Nya.
Saya sendiri sampai hari ini masih percaya bahwa kasih ibu itu
sepanjang masa. Karena siapa pun itu, ketika di hadapan ibu, akan tetap
dianggap sebagai bocah kemarin sore yang masih ingusan. Kita bisa bercerita
tentang banyak hal, mulai dari yang pelik-sulit-membingungkan sampai yang
receh-remeh-temeh. Ibu akan tetap menerimanya dengan kehangatan. Kendati penampilan
ibu biasa saja dan cenderung apa adanya, tapi justru wejangan yang diutarakan
selalu terlihat bersahaja dan menenteramkan.
Persis seperti setiap kali saya memberi kabar melalui sinyal
smartphone dari kejauhan, ibu saya selalu bertanya dan mendoakan kabar yang
baik, sebelum saya sendiri cerita keadaan dan masalah yang sedang saya hadapi. “Ya
sudah, sing sabar. Ojo grusa-grusu, dipikir sing tenanan sak
durunge ambil keputusan”, wejangnya yang selalu membuat saya berpikir dua
bahkan lima kali sebelum mengambil setiap kesempatan yang ada.
Kalau saya ditanya tentang hal apa yang saya kangeni dari
ibu selain wejangannya, saya akan menjawab masakannya. Bagi saya sentuhan
tangannya bisa menyulap aneka bahan masakan menjadi citarasa berselera tinggi
khas lidah keluarga dengan nuansa kearifan lokal. Saat rehat di kampung
halaman, saya mewajibkan untuk makan porsi dobel masakan ibu saya. Bukan karena
tamak atau rakus, tapi saya ingin memberi tahu diri saya yang sekarang, yang
sudah mulai digerogoti budaya urban dengan kecenderungan serba instan. Bahwa saya
dulu tumbuh-berkembang sampai seperti hari ini cikal bakalnya ada dari tangan
ibu yang kulitnya sekarang sudah tidak sehalus dulu.
Maka wajar saja jika banyak diantara kita yang memilih ibu
sebagai tempat untuk pulang. Tempat yang senantiasa menerima kita sebagai
anak-anaknya yang nakal dan sering lupa mengucap terimakasih. Bahkan mungkin
sampai ibu kembali di kandung tanah, kita akan tetap merasa nyaman-tenteram
ketika telah menziarahi dan berkeluh kesah seperti biasanya di pusaran
terakhirnya.
Selamat hari ibu, salam perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar