Selasa, 22 Desember 2020

Ibu, Perempuan, dan Tempat Kembali

Hai apa kabar? Semoga senantiasa kabar baik yang terucap. Bagaimana pun, tidak ada kabar yang menggembirakan untuk didengar di masa-masa sulit seperti ini selain, “Saya baik-baik saja”.

Hari ini, 22 Desember kita memperingati hari Ibu se-Indonesia. Peringatan ini tentunya tidak asal, ada banyak rentetan kejadian yang menjadi latar belakangnya. Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali digelar pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, ditetapkan oleh Presiden Soekarno sebagai jatuhnya hari Ibu. Meskipun pada saat itu, keputusan yang dihasilkan belum bisa direalisasikan sepenuhnya dan anggota yang hadir belum mewakili seluruh wilayah di Indonesia, namun semangat cita-cita yang diusung menjadi percikan api yang dapat menyulut semangat perempuan yang datang sesudahnya.

Kita tahu sendiri, perempuan di masa silam harus menjalani nasib yang cukup berat. Akses untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, hak menyuarakan pendapat, apalagi berkiprah di ranah politik menjadi perbuatan yang amat mustahil untuk dikabulkan. Berbeda dengan kondisi yang dialami oleh perempuan hari ini yang lamat-lamat mulai membaik. Meskipun harus diakui juga bahwa kasus-kasus yang merugikan perempuan masih tetap dan terus ada.

Oh iya, saya turut bersuka cita bagi yang masih bisa melihat wajah ibunya yang mulai sayu dan berkerut termakan usia, tapi tetap menunjukkan ketegaran untuk emoh menyerah pada keadaan. Saya juga turut berduka cita sekaligus mendoakan yang terbaik bagi yang hanya bisa bertemu dengan ibu di dalam doa, semoga ia mendapat tempat yang apik di sisi-Nya.

Saya sendiri sampai hari ini masih percaya bahwa kasih ibu itu sepanjang masa. Karena siapa pun itu, ketika di hadapan ibu, akan tetap dianggap sebagai bocah kemarin sore yang masih ingusan. Kita bisa bercerita tentang banyak hal, mulai dari yang pelik-sulit-membingungkan sampai yang receh-remeh-temeh. Ibu akan tetap menerimanya dengan kehangatan. Kendati penampilan ibu biasa saja dan cenderung apa adanya, tapi justru wejangan yang diutarakan selalu terlihat bersahaja dan menenteramkan.

Persis seperti setiap kali saya memberi kabar melalui sinyal smartphone dari kejauhan, ibu saya selalu bertanya dan mendoakan kabar yang baik, sebelum saya sendiri cerita keadaan dan masalah yang sedang saya hadapi. “Ya sudah, sing sabar. Ojo grusa-grusu, dipikir sing tenanan sak durunge ambil keputusan”, wejangnya yang selalu membuat saya berpikir dua bahkan lima kali sebelum mengambil setiap kesempatan yang ada.

Kalau saya ditanya tentang hal apa yang saya kangeni dari ibu selain wejangannya, saya akan menjawab masakannya. Bagi saya sentuhan tangannya bisa menyulap aneka bahan masakan menjadi citarasa berselera tinggi khas lidah keluarga dengan nuansa kearifan lokal. Saat rehat di kampung halaman, saya mewajibkan untuk makan porsi dobel masakan ibu saya. Bukan karena tamak atau rakus, tapi saya ingin memberi tahu diri saya yang sekarang, yang sudah mulai digerogoti budaya urban dengan kecenderungan serba instan. Bahwa saya dulu tumbuh-berkembang sampai seperti hari ini cikal bakalnya ada dari tangan ibu yang kulitnya sekarang sudah tidak sehalus dulu.

Maka wajar saja jika banyak diantara kita yang memilih ibu sebagai tempat untuk pulang. Tempat yang senantiasa menerima kita sebagai anak-anaknya yang nakal dan sering lupa mengucap terimakasih. Bahkan mungkin sampai ibu kembali di kandung tanah, kita akan tetap merasa nyaman-tenteram ketika telah menziarahi dan berkeluh kesah seperti biasanya di pusaran terakhirnya.

Selamat hari ibu, salam perempuan.

Tidak ada komentar: