Beberapa hari ini kita mendapat kabar baik, vaksin Covid 19 yang beberapa bulan lalu masih menjadi wacana, kini sudah tersedia. Rencananya vaksin akan diproduksi secara massal dan diperuntukkan untuk seluruh warga Indonesia.
Banyak pihak dan warganet yang mulanya bersiteru soal siapa orang pertama yang akan menerima vaksin. Seteru ini sampai menjadi trending topik di media sosial. Namun belakangan, seteru itu mereda, karena Presiden Jokowi telah menyatakan dirinya sebagai orang pertama yang menerima vaksin.
Kabar heboh tentang vaksin ternyata tidak hanya itu. Masyarakat sempat ogah divaksin karena harus mengeluarkan biaya sampai ratusan ribu untuk sekali suntik. Tapi lagi-lagi, melalui pernyataan Presiden Jokowi, bahwa vaksin ini akan diberikan secara gratis, gemuruh di masyarakat perlahan-lahan kembali mereda.
Ya semoga saja, biaya yang digelontorkan untuk vaksin dari produksi sampai distribusi, berbanding lurus dengan khasiat sehat yang diterima oleh masyarakat.
Memang bisa dikatakan keberadaan vaksin ini menandai babakan zaman yang lebih maju bagi umat manusia. Hanya dengan sekali suntik, daya tahan manusia sudah hampir bisa terjamin kesehatannya.
Sekitar satu abad silam, nenek moyang kita tentu melakukan hal yang berbeda sebagai upaya preventif atau pengobatan terhadap suatu wabah yang datang menyerang manusia. Kita mungkin pernah membaca atau mendengar, cerita tentang nenek moyang kita yang melakukan berbagai macam ritual penghormatan kepada alam. Ritual-ritual itu kini beberapa masih ada, namun maknanya mungkin sudah mulai mengalami pergeseran.
Jika nenek moyang kita dulu melakukan ritual itu sebagai wujud syukur karena telah diberi banyak berkah melalui alam, atau melakukan itu untuk menandai kehidupan manusia yang harus berdampingan dengan kehidupan pepohonan, hewan, bahkan makhluk tak kasat mata. Maka kita melakukan ritual itu mungkin didasari pada hiburan semata. Ritual yang tadinya sakral, berubah, terjun bebas maknanya dalam kemasan wisata.
Padahal menurut nenek moyang kita dulu, datangnya wabah atau penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan kehidupan. Mungkin manusia terlalu rakus, mungkin manusia terlalu malas, mungkin manusia juga tidak terlalu peduli pada keadaan sekitar, sehingga wabah itu datang sebagai azab, peringatan, dan pelajaran sekaligus.
Sebagai azab, karena kita telah lalai untuk berbuat baik dan sehat. Sebagai peringatan, karena kita manusia yang sejatinya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ada kerja sama yang apik dengan semesta dan pertolongan-Nya. Sebagai pelajaran, karena kita masih diberi hidup untuk melewati wabah dan ke depan, laku sebagai manusia patut diperbaiki agar tidak terulang kejadian yang sama untuk kedua kalinya.
Tapi faktanya kita harus dibuat kecut oleh tingkah para elit di negeri ini yang malah mengajari masyarakatnya untuk tidak peduli pada pergeseran makna ritual. Bagi mereka selama itu bisa dijual, diubah, dan menjadi kapital yang bisa digerakkan untuk tabungan pribadinya, kenapa tidak dilakukan?
Oh iya kembali ke vaksin, ternyata ada banyak harapan yang ditambatkan oleh pedagang kecil, pemilik kost, dan warung makan tentang mujarabnya vaksin ini. Sudah beberapa bulan ini mereka terlihat lesu, tidak hanya dari rona wajahnya tapi juga isi dompetnya.
Sebagai misal, beberapa hari lalu saya sempat membeli somay yang kebetulan sedang berteduh di dekat asrama tempat saya tinggal. Dagangannya masih penuh, padahal saat itu waktu sudah menujukkan jam tujuh malam lebih. Ia berasal dari Purbalingga, sudah berkeluarga, dan di Yogyakarta ia ikut pamannya.
Ada lima belas orang yang berjualan somay seperti dirinya. Rutenya berbeda-beda. Namun mereka sama-sama tidak bisa menghabiskan dagangannya, meski rute yang ditempuh sejauh Kota Gede, Bantul ke Caturtunggal, Sleman. Ada juga yang sampai ke Kulonprogo.
Setiap hari ia tetap berdagang, menjajakan siomay dengan sepeda bututnya. Ia memilih bertahan di masa-masa yang tidak menentukan seperti ini. Ia sendiri juga sadar, keberangkatannya tidak akan semenguntungkan saat pandemi Covid 19 belum datang. Namun karena tuntutan hidup berumah tangga, ia pun nekat meski hasil yang diperoleh tidak seberapa.
Salam perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar