Selamat berakhir pekan teman-teman semua. Semoga pekan depan dan depannya lagi kita tetap dilimpahi kesehatan dan kemauan untuk berbuat kebaikan. Sebab di masa-masa yang tidak menentu seperti ini, kita harus tetap memupuk harapan dan nalar yang waras.
Terhitung dari Bulan November tahun kemarin, saya sudah menarik diri dari mengkonsumsi berita di berbagai media online. Bukan karena tidak ada kuota data, tapi saya lebih memilih untuk tidak tahu isu-isu yang menurut saya membuat jemu. Alih-alih bisa menambah kepekaan, empati, dan rasa solidaritas di masa pandemi, kita semua justru seperti diwadahi untuk bertarung bebas. Berargumen dan beralasan sesukanya dan semuanya.
Apalagi banyak diantara kita yang mungkin kadang luput untuk membedakan, mana yang seharusnya dikritik dan mana yang sepatutnya tidak diulik. Ulama dan banyak cendekiawan lainnya sudah memberi tauladan, bahwa setiap orang memiliki pemikiran dan kepentingan yang itu bebas untuk dikritik habis-habisan, tapi tidak menyeret privasinya sebagai manusia.
Maka dari itu saya banyak menyibukkan diri dengan buku dan membuat sedikit catatan. Toh di tahun sebelumnya saya sudah membuat rencana untuk mengkhatamkan satu buku dalam tempo seminggu. Kemudian meringkasnya, sebisa dan sepaham saya. Dan ringkasan itu yang kadang saya share kepada pembaca, tapi lebih banyak saya simpan sebagai bahan obrolan kepada lawan bicara yang tepat. Ya karena terkadang problem itu bisa muncul dari kesalahan kita dalam memilih kata berucap dan kekeliruan memahami dari lawan bicara. Ternyata berkomunikasi bisa serumit itu.
Hanya saja belakangan saya agak kewalahan menghadapi buku berjajar di rak. Terlihat sangat banyak dan tebal-tebal. Kalau novel, esai, catatan perjalanan, atau biografi tokoh kadang saya khatamkan dalam sekali duduk. Namun buku-buku yang memuat teori dengan diksi membosankan, paling banter hanya bisa satu bab kemudian saya tutup dan beralih ke aktivitas yang lain.
Baru kemarin saya mendapat jawaban memuaskan perihal yang mulanya saya anggap sebagai gangguan ketidak-konsistenan dalam beraktifitas, ternyata itu adalah sebuah pilihan yang memang harus dilakukan. Mas Irfan Afifi memberi penuturan yang ciamik.
Katanya, “Memang buku-buku yang baik dan bagus itu banyak. Begitu juga teman-teman yang kita kenal sejak kecil sampai sekarang juga banyak yang baik. Tapi hidup manusia itu kan terbatas. Akhirnya mau tidak mau kita harus memilih dengan pertimbangan ini berguna apa tidak untuk hidupmu. Banyak hal-hal baik yang belum tentu berguna untukmu, tapi bisa jadi itu berguna untuk orang lain”.
Tentu saja penuturan Mas Irfan Afifi ini menjurus pada salah satu diantara dua hal yang melulu digeluti oleh umat manusia, di mana pun dan siapa pun.
Ada manusia yang memilih menjadi pejalan, dalam arti mengetahui banyak hal mulai dari yang remeh-temeh sampai pada yang besar-berat. Semua buku dibaca habis, dan semua orang dijadikan teman. Hanya saja manusia jenis pejalan ini pengetahuannya tentang sesuatu tidak bisa mendalam sampai ke akar-akarnya. Mungkin ia tahu banyak buku tentang pendidikan, tapi hanya sebatas permukaannya saja. Mungkin ia juga memiliki banyak teman, tapi tidak pernah paham kepentingan dan kegelisahan di balik senyumannya.
Sedang yang kedua jenis manusia pertapa, maksudnya hanya mengetahui apa-apa yang ada di sekelilingnya. Kendati begitu, manusia jenis ini pengetahuannya bisa lebih mendalam dan detail dibanding manusia jenis pejalan. Mungkin ia hanya membaca buku pendidikan anak usia dini saja, tapi ia bisa memberi penjelasan yang memadai jika ditanya kenapa anak kecil itu begini dan begitu. Pun begitu ia mungkin juga memiliki banyak teman, tapi yang benar-benar akrab hanya beberapa orang saja. Sehingga kepentingan, kegelisahan, dan keinginan dari beberapa teman yang akrab itu bisa ia pahami tanpa perlu mengajukan pertanyaan terlebih dulu. Dan Mas Irfan Afifi memberi afirmasi pada manusia jenis ini.
Salam kesehatan dan kewarasan.
7 komentar:
Lebih baik membaca daripada mengunjungi berita yang membuat resah.
Keren pak...smg istikamah
enggeh pak, maturnuwun
enggeh pak, maturnuwun
maturnuwun bu ...
Wah...pembaca yang tangguh pak....
tergantung moodnya juga sih pak, hehe
Posting Komentar