Senin, 26 Juli 2021

Manusia, Gelandangan, dan Buku

Di sekitar kita ada banyak gelandangan. Mereka hidup secara tidak wajar, bukan kurang ajar. Disebut tidak wajar karena makan dan minum seadanya, kadang bermalam di tempat terbuka, dan tubuhnya lekat dengan berbagai macam kuman karena jarang bebersih diri.

Dulu sewaktu saya berusia belia, gelandangan dianggap sebagai orang-orang yang gemar membawa anak kecil yang rewel. Sebab setiap kali saya menangis atau merajuk meminta sesuatu, nama ‘gelandangan’ selalu dijadikan momok yang menakutkan. Dan itu mujarab. Saya langsung diam, karena takut akan dibawa entah kemana.

Menginjak usia remaja, saya mengenal gelandangan sebagai sekumpulan remaja yang gandrung dengan sepak bola atau musik rock. Mereka rela melakukan perjalanan berpuluh-puluh kilometer hanya berbekal niat semata. Mereka juga siap hidup menggelandang berpekan-pekan, bahkan berbulan-bulan hanya karena pertandingan sepak bola tim kebanggaannya bermain atau musik yang disenangi sedang konser. Sebuah aktifitas yang saya rasa hanya patut dinilai dari sudut pandang loyalitas.

Di usia remaja juga, saya menemukan kata berbau kearifan lokal yang bersinonim dengan gelandangan. Ya, gelandangan sama dengan ‘mbambong’. Saya tidak tahu persis asal kata ‘mbambong’ ini. Tapi yang saya tahu, ‘mbambong’ digunakan sebagai nama sebuah geng di kabupaten tempat kelahiran saya. Belakangan saya tahu bahwa geng tersebut masih ada dan masih diminati oleh sebagian remaja, termasuk remaja di kampung saya.

Sudut pandang berbeda ihwal gelandangan saya temui di bangku sekolah. Di situ gelandangan selalu disertai dengan pengemis (GEPENG). Saya tidak tahu apa alasan yang melatarbelakangi sebutan GEPENG ini. Apakah keduanya merupakan dua status yang dapat disandang oleh satu orang sekaligus? Kalau iya, bukankah menjadi gelandangan dan menjadi pengemis adalah dua hal yang berbeda? Atau setiap gelandangan memiliki pekerjaan sebagai pengemis? Atau sebaliknya, setiap pengemis adalah gelandangan?

Padahal faktanya setiap pengemis bisa jadi hidupnya tidak menggelandang. Mereka memiliki rumah yang bahkan lebih bagus dari petani atau pedagang. Mohammad Diponegoro dalam bukunya bertajuk Zaman Perang memberi gambaran tentang ini. Ia menceritakan ide ganjil dari lurah Saman untuk memecahkan masalah yang dialami warganya. Sebab desanya yang dulu makmur karena gaplek dan kerajinan kayu, kini berangsur-angsur menjadi lesu.

Setelah diselidiki, ternyata penyebabnya berawal dari minat orang kota yang sudah mulai berubah. Orang kota yang sebelumnya makan gaplek menjadi gandum, yang dulunya menggunakan kerajinan bambu untuk perkakas rumah berubah menjadi serba plastik.

Lurah Saman pun geram. Setelah berdebat alot, akhirnya ide ganjil lurah Saman dilakukan. Lurah Saman mengajak semua warganya, terutama perempuan dan anak-anak untuk pergi ke kota menjadi pengemis. Dengan begitu, orang kota yang dinilai angkuh itu pelan-pelan akan menerima akibatnya. Cerita itu memang menjadi indikasi bahwa pengemis memang berbeda dengan gelandangan.

Dalam sebuah buku kriminologi, orang yang hidupnya menggelandang disebut dengan atavisme. Gelandangan dinilai sebagai orang yang kembali ke masa lalu dengan cara hidupnya yang nomaden. Namun George Orwell dalam bukunya berjudul Down and Out In Paris and London menilai bahwa gelandangan itu ada karena memang terdapat norma yang memaksa seseorang harus menjadi gelandangan.

Ia berkaca pada sejarah kelam dalam hidupnya. Katanya di buku itu, “Orang yang jatuh miskin, kalau dia tidak disantuni gereja, hanya akan mendapatkan bantuan di tempat penampungan, dan karena setiap tempat penampungan hanya mengijinkannya tinggal satu malam, dia secara otomatis akan hidup berkeliling.

Kejadian hampir mirip juga ada di negeri kita. Bahwa gelandangan ada dalam bentuk angka-angka laporan akhir tahun, memang iya. Namun angka itu tidak lantas memicu pengambil kebijakan untuk merumuskan solusi yang memang benar-benar membuat gelandangan-dan pengemis-bisa mentas dari hidup kelamnya.

Salam penggelandang(an)

Tidak ada komentar: