Di bumi yang kita tempati ini, ada banyak peradaban yang selain menyisakan cerita dan peninggalan fisik, juga meninggalkan pelajaran yang memiliki nilai guna untuk generasi sesudahnya. Pelajaran itu mudah dan murah untuk didapat, namun sukar sekali untuk memperoleh minat. Terlebih dalam konteks dewasa ini, cerita di peradaban masa lalu lazim berbumbu sehingga masyarakat kita sulit untuk memilah mana yang fakta dan mana yang sekadar cuap-cuap semata.
Tapi untuk mendapat pelajaran dari peradaban di masa silam, pertama-tama yang perlu digali ialah seluruh narasi yang berkaitan dengan peradaban tersebut. Entah itu narasi dalam bentuk tutur lisan atau tutur tulisan. Semuanya perlu digali. Meskipun penggalian ini juga memerlukan strategi yang dalam bahasa bangku kuliah akrab disebut metode.
Baru setelah itu dilakukan, pelajaran-pelajaran berharga dapat ditarik. Benang merah dari pertanyaan kenapa peristiwa ini terjadi, apa penyebabnya, bagaimana prosesnya, siapa saja yang terlibat, dan apa dampaknya bisa ditemukan. Lantas langkah terakhir ialah mengawetkannya dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan kondisi dan situasi pada masanya.
Gaya seperti ini saya rasa dapat mempertahankan narasi sejarah peradaban silam untuk generasi yang datang lima puluh atau malah satu abad setelahnya. Dengan catatan, tulisan yang dinaskahkan tersebut masih dapat diakses. Perkara narasinya tidak relevan, saya kira tidak jadi persoalan. Toh setiap generasi memiliki pemikirannya sendiri yang dirasa relevan untuk merespon zamannya.
Terlepas dari itu, ada pertanyaan menarik yang perlu diketengahkan. Kenapa ada banyak peradaban yang maju luar biasa dengan penemuan teknologinya di masa itu, pembangunan bentengnya, dan pengelolaan sumber dayanya yang optimal tapi tetap saja dapat ambruk?
Dalam banyak buku sejarah-meski tidak semua-kita kerap menemukan bahwa ambruknya peradaban karena ada serangan dari kompetitor. Entah itu kompetitor di ladang bisnis, wilayah politik, atau dendam yang tak kunjung padam.
Namun jangan-jangan itu semua hanya menjadi pemicu atau pungkasan dari rangkaian kebangkrutan dari sebuah peradaban. Dalam arti, narasi yang lazim kita temui di buku-buku sejarah itu hanya menceritakan sebagiannya saja, sedangkan sebagian lagi belum terungkap atau tidak diungkap.
Karena bagaimanapun, narasi utuh peradaban di masa silam dari daerah mana saja dapat digunakan sebagai instrumen legitimasi kepentingan dalam konteks apapun. Syukur kalau itu masuk pada ranah yang memiliki nilai guna untuk manusia dan dunia. Kalau justru masuk pada ranah yang rawan digunakan untuk hal-hal yang membahayakan, kepada siapa pertanggungjawaban akhirnya dialamatkan?
Nah, Jared Diamond dalam bukunya yang bertajuk Collapse mencatat ada beberapa faktor yang menjadi musabab bangkrutnya sebuah peradaban. Faktor yang pertama kali ia munculkan ialah ekosida. Ekosida merupakan laku manusia yang secara tidak sengaja menghancurkan sumber daya lingkungan yang diandalkan oleh masyarakatnya pada masa itu.
Definisi di atas mungkin langsung mengarahkan persepsi kita pada keserakahan umat terdahulu yang menggunakan sumber daya dengan membabi buta. Lebih jauh, mungkin menganggapnya sebagai umat yang belum paham tentang mengelola sumber daya dengan baik dan benar.
Persepsi seperti ini juga memicu persoalan, apakah hari ini dengan ragam peralatan yang kita ciptakan dan gunakan, sudah benar-benar bisa mengelola sumber daya dengan baik? Atau malah sebenarnya hari ini secara perlahan-lahan kita telah mencederai bumi dengan dalih kemajuan peradaban tapi terus merasa jumawa?
Selain ekosida, secara berurutan ada faktor kerusakan lingkungan, perubahan iklim, tetangga yang bermusuhan, mitra dagang yang bersahabat, dan respon masyarakat terhadap problem lingkungan yang disebut dalam buku Collapse tersebut.
Kalau dicermati Jared Diamond ingin mengatakan, “Peradabanmu bisa selamat, bisa langgeng, jika kamu memperhatikan ketersediaan alam untuk masa kini dan masa mendatang”. Setelah alam terjamin ketersediaannya, lantas memikirkan cara bagaimana menjalin relasi yang baik dengan tetangga, baik dalam bermitra maupun mengelola konflik.
Salam (mem)peradab(k)an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar