Minggu, 11 Juli 2021

Manusia, Kebiasaan, dan Hasilnya

Setiap manusia memiliki kebiasaan untuk mengawali harinya. Atau minimal kebiasaan yang dilakukan di keseharian dalam kurun waktu bertahun-tahun lamanya. Jika kebiasaan tersebut tidak ditunaikan, rasanya seperti ada yang kurang.

Nah, apa kebiasaan teman-teman yang menjadi keharusan untuk dilakukan setiap harinya? Coba diterka-terka. Tapi apapun itu, saya semogakan supaya kebiasaan tersebut memiliki dampak apik pada diri sendiri, orang di sekitar, dan tentu saja untuk masa mendatang.

Sebab mengutip apa yang disampaikan guru saya, kebiasaan itu menjadi data yang hasilnya dapat dituai lima atau sepuluh tahun ke depan. Hari ini kebiasaannya membaca buku, maka hasilnya nanti juga tidak akan jauh dengan hal-hal yang berbau perbukuan. Hari ini kebiasaannya minum kopi, bisa jadi ke depan akan memiliki warung kopi, barista, atau tester kopi bercitara rasa tinggi. Hari ini kok kerap berbohong dengan hal-hal sederhana, maka hidupnya tidak akan jauh-jauh dengan membohongi dan dibohongi orang lain.

Meskipun ini tidak berlaku mutlak. Sebab hukum kausalitas dapat saja diabaikan. Misalnya, teman saya yang setiap hari minum kopi, tidak lantas membuat dirinya bercita-cita mendirikan warung kopi. Ia malah berkeinginan menjadi kepala sekolah. Ia memulai mimpinya itu dengan bekerja sebagai seorang guru honorer di sekolah swasta dengan kesibukan padat merayap. “Saya hanya mencari pola yang pas untuk pendidikan sepuluh atau dua puluh tahun mendatang”, katanya.

Ihwal minum kopi, ia mengaku sudah melakukannya sejak usia enam tahun. Di kampung halamannya, di Lampung, ia bisa minum dua sampai enam gelas dalam sehari. “Ya di sini biasa minum kopi kayak minum air putih”, tuturnya.

Memang saya sendiri pernah mengalaminya ketika turut mengantar teman menikah. Di sana saya menginap. Setiap hari tidak pernah absen untuk minum kopi sejak bangun sampai lelap kembali. Padahal ketika di Tulungagung yang terkenal dengan Kota Cethe-nya, saya maksimal menghabiskan tiga gelas kopi dalam sehari. Tapi di Lampung, bisa sampai lima gelas bahkan lebih.

Kembali lagi ke masalah kebiasaan. Selain kausalitas dalam konteks kebiasaan ini sifatnya relatif, manusia sendiri pada dasarnya memiliki kecenderungan yang dinamis. Naik turun, maju mundur, patah tumbuh, bangkit terpuruk, kanan kiri, atas bawah, bahagia menangis, senang kecewa, dan seabrek dua sifat yang sama-sama ada dalam tubuh manusia. Tanpa disadari, hal ini menjadi variabel yang sedikit banyak juga menyebabkan kebiasaan tidak lantas dapat direalisasikan sesuai dengan kasunyatan di masa depan.

Saya ambil contoh. Dalam kurun lima tahun terakhir ada orang yang kebiasaannya rebahan. Ia tidak pernah terlibat dalam agenda apapun. Ia diajak. Tapi karena sifatnya yang tidak peduli terlalu kuat, maka ia melulu memilih untuk mengurung diri di dalam kamar.

Mungkin berkaca dari kondisi seperti itu, tidak sedikit orang yang akhirnya mengklaim bahwa dirinya tidak akan sukses. Mungkin juga terlampau banyak orang yang akhirnya mengkucilkan dirinya. Tapi saya rasa anggapan seperti ini tidak perlu diamini. Karena seperti yang saya katakan di muka bahwa manusia memiliki sifat yang dinamis.

Bisa jadi karena ada satu momen tertentu, orang tersebut akhirnya terpantik untuk memulai usaha berkebun. Tidak tanggung-tanggung, ia menyelami dunia perkebunan secara mendetail mulai dari akar sampai ujungnya. Pada akhirnya ia malah menjadi pakar kebun yang kerjaannya justru malah keliling untuk mengedukasi jutaan masyarakat ihwal bagimana berkebun dengan baik dan benar.

Lantas apakah pembiasaan pada hal-hal yang baik, suatu hari nanti akan berubah menjadi sesuatu yang tidak baik? Saya rasa tergantung seberapa besar komitmen kita untuk terus berada di jalan yang apik.

Salam kebiasaan baik.

Tidak ada komentar: