Jumat, 09 Juli 2021

Film, Buku, dan Cara Mengapresiasi

Ada banyak bentuk apresiasi yang diejawantahkan oleh manusia terhadap sebuah karya. Apresiasi itu bisa jadi muncul karena memang dirinya merasa tertarik, atau karena sikap penghargaan dari kerja keras yang ada di baliknya.

Tapi bagi saya, bentuk apresiasi bukan seperti tepuk tangan, terimakasih, atau sekadar tersenyum. Apresiasi itu harus merampungkan. Memulai dengan baik, kemudian menikmati prosesnya, lantas merampungkannya. Dengan begitu saya baru merasa memiliki hak untuk menilainya apakah karya tersebut bagus-tidak, baik-buruk, serta kelebihan dan kekurangan dari karya tersebut.

Misalnya seperti saya menonton film dan membaca buku. Dua aktivitas ini saya rasa memiliki tingkat keunikan yang sama. Keduanya juga memiliki nilai pengetahuan, meski berbeda porsi dan proporsinya. Meskipun ada banyak juga film yang diproduksi dengan dasar dari cerita-cerita di buku. Namun itu tidak lantas memposisikan film berada di bawah buku. Toh ada ribuan judul buku yang terbit karena terinspirasi dari film tertentu.

Tentang film. Sejak pandemi mendera, saya cukup intens menonton film. Film apa saja, asal memberi dampak baik dan tentu saja dapat mengurai perasaan tegang karena kondisi yang kian runyam. Mulai dari film dengan genre humoris, asmara, pertikaian, sampai dengan film yang di dalamnya menampilkan peran jumawa sebuah teknologi mutakhir.

Untuk genre film yang terakhir itu, ada teman saya yang mengaku tidak mampu mengikut alurnya. Ia tidak tertarik sama sekali dengan film-film yang memamerkan kecanggihan teknologi. “Film kok tidak memanusiakan manusia”, cetusnya.

Tapi ada satu produksi film-kalau bisa disebut begitu-yang sampai hari ini belum pernah saya tonton, film drama korea. Belum ada rasa ketertarikan yang kuat, kendati rasa penasaran sudah saya pupuk di kala akan memulainya. Padahal kata teman saya yang gandrung dengan drama korea, di dalamnya, tidak hanya melulu mengurusi ihwal asmara. Ada banyak hal lain yang bisa diperoleh dari menonton drama korea.

Biasanya saya menonton film secara acak. Tidak harus yang keluar dalam satu dua tahun terakhir. Tidak juga karena trailer yang apik. Kadang malah apa yang ingin saya tonton dengan apa yang sedang saya tonton jauh berbeda. Saya ingin menonton film komedi, tapi ketika membuka netflix, justru saya memilih film laga dengan bumbu-bumbu pertarungan yang heroik.

Bagi saya hal ini kadang kali bisa memicu masalah di tengah-tengah jalannya menonton film. Sebab alurnya tidak menarik seperti yang saya harapkan. Monoton. Tidak ada gejolak. Dan ceritanya kemana bisa ditebak. Di momen ini kadang saya agak merasa jengkel.

Kendati begitu saya tetap merampungkannya sampai detik terakhir. Kalkulasi aktivitas seperti ini memang dapat dinilai sebagai membuang-buang waktu. Daripada menonton film yang tidak disuka, lebih baik segera pindah film atau melakukan aktivitas lain yang lebih menghasilkan dana dan berguna.

Namun seperti yang saya katakan di awal, bentuk apresiasi itu adalah merampungkannya. Karena bisa jadi film itu tidak menarik bagi saya, tapi bagi orang lain, film itu malah menjadi contoh dari perjalanan hidupnya. Bisa jadi juga film itu menjadi karya terakhir dari salah satu diantara orang-orang yang terlibat di dalamnya sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Kalau tentang buku, saya malah menghindari membaca buku yang mengulas sains di level rumus. Namun jika itu mengenai ceritanya, dampaknya pada manusia, dan apa yang kira-kira dapat dilakukan oleh manusia untuk menghadapi situasi tersebut, saya tertarik membacanya. Apalagi buku-buku sastra, ini bak makanan yang gurih, renyah, dan memiliki aroma yang menggiurkan untuk segera dibaca.

Tapi terlepas dari itu semua, setiap karya memang layak untuk mendapatkan apresiasi, komentar, kritikan, dan bahkan cemooh. Karena karya yang berkualitas tidak lahir dari keadaan yang biasa-biasa saja dan ala kadarnya.

Salam apresiasi.

Tidak ada komentar: