Belakangan ini ada banyak momen yang mungkin harus ditunda untuk digelar. Beberapanya lagi justru harus menuai jalan putus asa kala situasi yang tengah terjadi tidak ada ujungnya. Bahkan ada juga yang pasrah, menerima apa yang terjadi dengan sesadar-sadarnya.
“Memang pasrah tidak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya dapat membuat diri kita tenang”, kata teman saya. Kami bersua beberapa waktu lalu melalui layar gawai. Pilihan itu menurutnya cukup wajar. Karena ia yang tengah bergelut dengan usaha dagangnya, melulu menuai jalan yang kurang mujur. Sudah puluhan kali dagangan yang ia jual ternyata tidak laku. Puluhan kali juga petugas gabungan memberi aturan yang menurutnya tidak memberi solusi yang jelas dan tegas. “Ya orang-orang kayak saya ini mas yang kerasa ruginya”, tuturnya dengan wajah sendu.
Memang hanya itu jalan dirinya dan keluarganya bisa makan, sekolah, membeli barang-barang mewah tapi yang bekas, serta plesiran di wisata terdekat satu kali dalam setahun. Ia menggantungkan pemenuhan nasib hidupnya pada dagangannya.
Namun dari obrolan kami kemarin, ia terlihat tegar. Ia juga tidak sedang mencari kambing hitam atau pihak yang memiliki kendali kekuasaan sebagai sebab ia mengalami perundungan nasib yang tidak mujur. Ia tetap tertawa terbahak-bahak.
Tapi dari situ saya merasa agak lega. Saya tidak perlu lagi mencari topik untuk menghiburnya, kendati saya sendiri juga tetap khawatir pada kondisi psikisnya yang mungkin menyembunyikan kepanikan. Ia terdengar tetap jenaka, ngawur, dan tentu saja agak nganyelke.
Karena ia mulai berjualan sore hari dan tutup sekitar jam dua dini hari, ia kerap bertemu dengan pembeli yang serba aneh. Dua hari yang lalu ia mendapati pembeli yang sedang mabuk. Awalnya ia takut dagangannya akan dijarah. Padahal pas hari itu, dagangannya masih utuh sampai pembeli mabuk tersebut datang. Ia was-was.
Singkat cerita pembeli tersebut pesan beberapa porsi makanan, tapi semuanya dibungkus. Teman saya ini merasa ambivalen dengan pembeli yang mabuk ini. Di satu sisi ia lega karena makanannya dibungkus dan tidak perlu interaksi verbal maupun fisik yang cukup lama dengannya. Namun di sisi yang lain, ia juga khawatir jika makanannya ini tidak akan dibayar, sedangkan ia memesan dengan porsi yang banyak.
“Ya aku profesionallah, ada pembeli ya tak layani”, jawabnya saat saya tanya bagaimana sikapnya. Setelah semua selesai, ia lantas memberi bungkusan itu ke pembeli yang mabuk tadi.
Nah yang dikeluarkan itu katanya bukan dompet atau uang, melainkan senjata tajam yang dibungkus kain hitam. Otomatis teman saya ini langsung mengambil jarak. Ia menerka-nerka apa yang akan terjadi setelahnya. Ia memiliki dua pilihan, kabur atau meladeninya di lokasi. Kalau kabur, dagangannya ditinggal dan itu berarti ia harus bersedia mendengar keluh kesah keluarganya. Atau ia meladeni di situ, meski ia sendiri tidak yakin bisa menang melawan tubuh yang lebih kekar dari dirinya. Ia melihat perkakas yang ada di sekitarnya yang dapat dijadikan senjata saat dirinya terpojok.
Dan ternyata yang terjadi adalah uang si pembeli itu tadi ada pada bungkus senjata tajam. Ia menyodorkan uang seratus ribu, tapi karena ia pembeli pertama, maka tidak ada kembalian. Pembeli itu langsung keluar dengan berkata, “Kembaliannya untukmu saja pak.”
Teman saya langsung bersyukur. Bersyukur karena tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dan bersyukur mendapat pembeli yang mengerti kondisi paceklik keluarganya. “Ya egak apa-apalah. Tapi mbok sebaiknya kalau ngasih itu yang banyak sekalian, tanggung kalau cuma seratus ribu”, gerutunya yang membuat saya yakin bahwa, ia memang sedang baik-baik saja. Karena perkataannya masih tetap saja nganyelke, persis saat pertama kami duduk bersama.
Salam dagangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar