Kita tentu saja pernah menemui ada seorang ibu yang memarahi anaknya untuk tidak mengkonsumsi makanan di sembarang tempat. Atau mengalami perundungan murka orang tua ketika bermain di luar rumah sampai lupa waktu. Atau bahkan hal sepele, seperti dimarahi karena kita tidak menemukan barang tertentu yang tengah dicari karena lupa menaruhnya dimana.
Memarahi ini bagi sebagian pengamat menjadi indikasi dari
sebuah teror. Bisa juga dianggap prototipe paling sederhana dari laku
kekerasan. Sebab relasi yang terjadi antara dua pihak adalah saling
menakut-nakuti. Satu pihak memiliki kuasa untuk memarahi, sedangkan satu
pihaknya lagi tidak memiliki kuasa untuk melawan karena ada rasa takut.
Persis seperti definisi yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang agak rancu, bahwa segala usaha untuk menciptakan ketakutan,
kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan dialamatkan pada laku
teror.
Nah, ‘segala usaha’ dalam definisi di ataslah yang saya
anggap memiliki banyak tafsir yang memicu kerancuan. Sebab tidak ada batasan
yang jelas dan tegas. Apakah melototi seorang murid karena menjahili teman
sebangkunya, kemudian si murid tersebut takut dan diam bisa disebut dengan
tindakan teror? Atau sebaliknya, jika ada seorang bapak yang menempeleng
anaknya, namun anak itu malah melawan tanpa ada rasa takut-takutnya. Apakah hal
demikian juga absah dimasukkan ke dalam bagian dari laku teror?
Ada banyak prototipe sederhana di sekitar kita yang mungkin
secara tidak langsung dapat dimasukkan sebagai tindakan teror. Padahal jika
dilihat dengan kasat mata, tindakan itu adalah hal yang lumrah ditemui di
mana-mana. Namun jika dikembalikan pada definisi di atas, alih-alih menjadi
tindakan yang lumrah, malah jadi tindakan yang dilarang oleh negara.
Dalam buku Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas,
Pluralitas, Terorisme, yang ditulis oleh Prof. Machasin,
perbuatan-perbuatan yang telah disebut di atas seperti memarahi, memelototi,
atau menempeleng bukan sebagai bagian dari teror. Sebab perbuatan itu dilakukan
tidak berniat menjadikan si korban ketakutan, merasa ngeri, dan memuat kekejaman
sebagai tujuannya. Namun orientasi yang ingin dituju adalah perbaikan moral yang
dianut oleh masyarakat di sekitarnya.
Maka dari itu, jika ada seorang ibu yang memarahi anaknya
agar tidak jajan sembarangan lantas si anak menjadi takut, ini bukan sebagai
teror. Melainkan sebagai bagian dari proteksi verbal untuk si anak supaya tidak
terkena penyakit akibat dari jajan sembarangan. Atau kasus dimarahi karena lupa
menaruh barang tertentu juga tidak bisa disebut sebagai teror. Karena ada moral
kehati-hatian yang menjadi tujuan dari tindakan marah. Dan banyak kasus-kasus
lain yang bisa diamati, moral baik apa di belakang itu semua.
Berbeda dengan kelompok terorisme yang melakukan itu untuk
memproduksi rasa takut dan ngeri. Mereka membuat kebijakan-kebijakan yang
menurut pemahaman mereka telah sesuai dengan ayat-ayat di kitab suci. Pemahaman
ini kemudian mereka klaim sebagai satu-satunya pemahaman yang benar dan cocok untuk
diterapkan. Namun ketika disiarkan ke khalayak luas, malah mengalami banyak
penolakan.
Dari proses distribusi yang gagal itu, mereka kemudian
mengambil jalan keras berupa ejawantah pengeboman ke berbagai tempat ibadah
umat agama lain dan merusak beberapa fasilitas publik yang dirasa memproduksi
kemaksiatan. Mereka melakukan itu hanya bertujuan untuk memaksa orang-orang
yang tidak sepemahaman dengannya melalui rasa takut dan kengerian. Tentu saja,
tindakan ini cenderung lebih ke arah politis ketimbang perbaikan moral manusia.
Begitu jawaban saya kala diskusi dengan teman di salah satu
sesi perkuliahannya. Jawaban itu memang bukan tanpa cacat dan salah. Justru
terdapat banyak celah di dalamnya. Di akhir sebelum menutup diskusi, saya malah
membeberkan satu ruang kosong yang memicu diskusi emoh rampung. Salah satunya
dengan, “Bagaimana kalau dibalik, bagaimana dengan kekerasan seperti teror itu
digunakan sebagai jalan untuk mengubah moral manusia agar lebih baik?”
Salam (emoh) marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar