Selasa, 08 Juni 2021

Saya, Musik, dan Jalan Ilahi

Ada banyak tindakan diantara kita yang dapat dilakukan untuk membuang rasa penat, mengobati lelah-luka, atau sekadar meredakan gejala bosan. Tindakan-tindakan itu berada dekat dan terjangkau. Bahkan beberapa dapat kita lakukan tanpa harus mengeluarkan uang dan tenaga yang berlebihan, misalnya mendengarkan musik.

Saya bukan pemusik yang dapat memainkan gitar dengan petikan yang meluluhlantakkan pendengarnya. Bukan juga penyuara yang memiliki suara merdu dengan intonasi yang pas. Bukan juga pemain seruling yang kerap mewarnai alunan dangdut. Bukan juga pemain gamelan yang harus menirakati diri sebelum memainkannya.

Catatan bermusik saya paling banter hanya sebagai pemain rebana yang diundang dari satu hajatan ke hajatan yang lain, dari satu rumah ke rumah yang lain. Itu saja saya kebagian ketukan yang tidak terlalu rumit, tidak perlu memikirkan suara kanan-kiri, dan hanya perlu mengetuk rebananya sampai si penyanyi memberi aba-aba berhenti. “Kalau kamu main selain ketukan yang itu, tempomu kecepeten. Jadi egak enak didengarnya”, kata teman yang langsung saya amini pada waktu itu.

Namun saya diberkati pendengaran yang normal untuk menangkap bebunyian. Celakanya saya selalu salah tebak jika mendengar bebunyi nyayian dari orang, yang saya mengiranya terlalu tinggi ternyata suaranya bisa sampai di nada tinggi itu. Mungkin ini yang jadi sebab saya tidak pernah dilibatkan lebih banyak dalam kontes dangdut di lingkungan setempat. Sial.

Alhasil saya memutuskan untuk menjadi penikmat musik. Tanpa perlu berkomentar ihwal teori bunyi, tanpa perlu belajar alat musik, dan tentu saja tidak perlu ribet kursus musik. Saya hanya perlu memilih musik yang ingin didengar, kemudian lamat-lamat meresapinya. Kadang saking nikmatnya, saya sampai terlelap.

Memang ada juga orang yang hanya menyukai musik dengan sangat-sangat apa adanya. Musik dianggapnya sebagai suara biasa yang bisa dicipta oleh setiap manusia. Musik tidak lebih menyentuh dari puisi yang kerap bikin hati trenyuh. Atau musik juga tidak seberani dan segarang kata-kata di warta media yang membuat pembacanya bergidik bulu romanya. Musik ya sebagai musik, tidak lebih.

Tapi jika merujuk pada petuah dari Inayat Khan, musik justru menjadi media yang dapat menumbuh-suburkan jiwa dan hati manusia. Ia pernah mengatakan bahwa kata-kata itu bagus, tapi ketika kata-kata sudah tidak berdaya kepada orang lain, maka yang akan digunakan adalah puisi. Akan tetapi terkadang puisi juga tidak berdaya, maka satu-satunya jalan paling puncak adalah menggunakan musik. Karena musik berbicara dari jiwa ke jiwa, berbeda dengan kata-kata yang membuat orang ‘keluar’ dari dirinya. “Apa ya maksud kata-katanya itu?”, kemudian keluar mencari maksud dari kata yang disampaikan. Kalau musik, orang biasanya akan menghayati dan meresapi ke dalam. “Maka orang yang tidak menyukai musik, hati dan jiwanya akan dipenuhi dengan perasaan tidak suka, kebencian, prasangka, dan curiga yang terus-menerus. Dan orang seperti ini hatinya bisa tertutup, karena sibuk mencari ‘keluar’ daripada ke dalam dirinya sendiri”, kata Inayat Khan.

Memang hanya dengan mendengarkan musik saja, sesumpek apapun kondisi manusia kadang bisa menjadi sumringah. Rona-rona cahaya pada dirinya menyeruak ke permukaan. Coba lihat, kerja bakti tanpa alunan dangdut kadang terasa getir dan hampa. Namun jika dangdut sudah berdendang, seberat-lelah apapun pekerjaan atau seberapapun beban kerja yang ada di hadapannya menjadi biasa-biasa saja.

Lebih hebat lagi jika dengan bermusik, kita bisa sampai pada Maha Yang Memiliki Seluruh Musik. Kalau kata para sufi, “Jika musik religi (shalawat) saja bisa mengantarkanmu untuk mengingat-Nya, apalagi dengan ibadah-ibadah yang lainnya.” Nah, hari ini ingin memutar musik apa?

Salam bermusik.

Tidak ada komentar: