Ada banyak tindakan diantara kita yang dapat dilakukan untuk membuang rasa penat, mengobati lelah-luka, atau sekadar meredakan gejala bosan. Tindakan-tindakan itu berada dekat dan terjangkau. Bahkan beberapa dapat kita lakukan tanpa harus mengeluarkan uang dan tenaga yang berlebihan, misalnya mendengarkan musik.
Saya bukan pemusik yang dapat memainkan gitar dengan petikan
yang meluluhlantakkan pendengarnya. Bukan juga penyuara yang memiliki suara
merdu dengan intonasi yang pas. Bukan juga pemain seruling yang kerap mewarnai
alunan dangdut. Bukan juga pemain gamelan yang harus menirakati diri sebelum
memainkannya.
Catatan bermusik saya paling banter hanya sebagai pemain
rebana yang diundang dari satu hajatan ke hajatan yang lain, dari satu rumah ke
rumah yang lain. Itu saja saya kebagian ketukan yang tidak terlalu rumit, tidak
perlu memikirkan suara kanan-kiri, dan hanya perlu mengetuk rebananya sampai si
penyanyi memberi aba-aba berhenti. “Kalau kamu main selain ketukan yang itu,
tempomu kecepeten. Jadi egak enak didengarnya”, kata teman yang langsung saya
amini pada waktu itu.
Namun saya diberkati pendengaran yang normal untuk menangkap
bebunyian. Celakanya saya selalu salah tebak jika mendengar bebunyi nyayian
dari orang, yang saya mengiranya terlalu tinggi ternyata suaranya bisa sampai
di nada tinggi itu. Mungkin ini yang jadi sebab saya tidak pernah dilibatkan
lebih banyak dalam kontes dangdut di lingkungan setempat. Sial.
Alhasil saya memutuskan untuk menjadi penikmat musik. Tanpa perlu
berkomentar ihwal teori bunyi, tanpa perlu belajar alat musik, dan tentu saja
tidak perlu ribet kursus musik. Saya hanya perlu memilih musik yang ingin
didengar, kemudian lamat-lamat meresapinya. Kadang saking nikmatnya, saya sampai
terlelap.
Memang ada juga orang yang hanya menyukai musik dengan
sangat-sangat apa adanya. Musik dianggapnya sebagai suara biasa yang bisa
dicipta oleh setiap manusia. Musik tidak lebih menyentuh dari puisi yang kerap
bikin hati trenyuh. Atau musik juga tidak seberani dan segarang kata-kata di
warta media yang membuat pembacanya bergidik bulu romanya. Musik ya sebagai
musik, tidak lebih.
Tapi jika merujuk pada petuah dari Inayat Khan, musik justru
menjadi media yang dapat menumbuh-suburkan jiwa dan hati manusia. Ia pernah
mengatakan bahwa kata-kata itu bagus, tapi ketika kata-kata sudah tidak berdaya
kepada orang lain, maka yang akan digunakan adalah puisi. Akan tetapi terkadang
puisi juga tidak berdaya, maka satu-satunya jalan paling puncak adalah
menggunakan musik. Karena musik berbicara dari jiwa ke jiwa, berbeda dengan
kata-kata yang membuat orang ‘keluar’ dari dirinya. “Apa ya maksud kata-katanya
itu?”, kemudian keluar mencari maksud dari kata yang disampaikan. Kalau musik,
orang biasanya akan menghayati dan meresapi ke dalam. “Maka orang yang tidak menyukai
musik, hati dan jiwanya akan dipenuhi dengan perasaan tidak suka, kebencian,
prasangka, dan curiga yang terus-menerus. Dan orang seperti ini hatinya bisa tertutup,
karena sibuk mencari ‘keluar’ daripada ke dalam dirinya sendiri”, kata Inayat
Khan.
Memang hanya dengan mendengarkan musik saja, sesumpek apapun
kondisi manusia kadang bisa menjadi sumringah. Rona-rona cahaya pada dirinya
menyeruak ke permukaan. Coba lihat, kerja bakti tanpa alunan dangdut kadang
terasa getir dan hampa. Namun jika dangdut sudah berdendang, seberat-lelah
apapun pekerjaan atau seberapapun beban kerja yang ada di hadapannya menjadi
biasa-biasa saja.
Lebih hebat lagi jika dengan bermusik, kita bisa sampai pada
Maha Yang Memiliki Seluruh Musik. Kalau kata para sufi, “Jika musik religi
(shalawat) saja bisa mengantarkanmu untuk mengingat-Nya, apalagi dengan
ibadah-ibadah yang lainnya.” Nah, hari ini ingin memutar musik apa?
Salam bermusik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar