Saya rasa banyak diantara kita yang paham bahwa waktu adalah uang. Makna sederhananya ialah semakin banyak waktu yang didharmakan untuk aktivitas produktif, maka semakin banyak keuntungan yang kita peroleh. Misalnya sebanyak 80% dari dua puluh empat jam yang disediakan, kita melakukan beragam aktivitas mulai dari merampungkan pekerjaan rumah, ikut kegiatan sosial di desa, menyicil pekerjaan yang tengah menggunung, atau belajar hal-hal baru yang belum pernah kita ketahui.
Hanya saja saya pernah tertawa sekaligus sadar bahwa di sekitar kita memang banyak pekerjaan, namun hanya sedikit saja yang menghasilkan uang. Menyapu halaman rumah, mencuci piring, ikut kerja bakti menaikkan genteng rumah tetangga, memungut sampah yang berserakan di samping rumah, dan seabrek aktivitas serupa lainnya adalah pekerjaan. Alih-alih mendapatkan uang, justru kita yang kadang rugi tenaga, waktu, dan mungkin biaya.
Lantas di mana letak pernyataan waktu itu adalah uang, jika pekerjaan untuk mengisi keluangan waktu hanya sedikit yang berduit? Kita tentunya banyak melihat tetangga, teman, atau saudara kita yang kerja keras banting tulang, berangkat pagi pulang petang namun tidak kunjung meningkat taraf hidupnya.
Termasuk ketika saya menulis ini. Saya menulis hanya untuk atau hanya ketika saya memiliki waktu luang. Menulis itu memang pekerjaan, tapi hanya sedikit tulisan yang menghasilkan pundi-pundi keuangan.
“Berati pekerjaan yang telah kita tunaikan selama ini adalah sia-sia”, apakah benar begitu? Coba sebentar, kita agak geser dulu makna uang itu dari yang memiliki definisi alat tukar yang sah dan dapat digunakan untuk jual beli, menjadi laku investasi.
Kita ambil permisalan yang mudah didapati seperti menyapu ruang tamu rumah kita sendiri. Menyapu itu sebuah pekerjaan. Karena kita harus bergerak, mengambil sapu, menentukan area mana yang ingin dibersihkan, dan kadang memicu munculnya keringat lengkap dengan ngos-ngosan. Setiap orang juga berbeda jam kerja dan berapa kali harus menyapu ruang tamu itu. Ada yang setiap pagi dan sore, ada yang setiap pagi, ada yang tiga kali sehari, bahkan ada juga yang disapu hanya ketika kedatangan tamu saja. Berbeda-bedakan.
Ambil saja permisalan jika sekali menyapu ruang tamu, kita memperoleh upah lima ribu rupiah. Berarti jika dalam sehari kita menyapu dua kali, kemudian dikali sebulan, dikali lima ribu rupiah, maka upah yang seharusnya kita peroleh sebanyak tiga ratus ribu rupiah per bulan.
Upah itu memang tidak langsung kita terima dalam bentuk duit yang dapat dibelanjakan kebutuhan keseharian. Tapi upah itu berubah menjadi wujud lain, wujud yang mungkin tidak senilai dengan duit tiga ratus ribu rupiah. Misalnya kita akan dinilai sebagai orang yang gemar bersih-bersih rumah, hanya karena rajin membersihkan ruang tamu. Celakanya rumah kita menjadi topik obrolan tetangga karena kebersihannya, bukan karena ada konflik rumah tangga.
Lebih jauh lagi, gemar menyapu ruang tamu ini akan ditiru oleh anak cucu. Secara otomatis jika jam sekian ruang tamu belum disapu, mereka para anak cucu akan segera mengambil sapu dan menunaikannya dengan hati riang. Tanpa ada bentakan dan gerutuan yang tidak perlu. Bahkan hanya karena rajin menyapu ini, rumah itu bisa jadi objek percontohan keluarga bersih di tingkat kelurahan. Semua tetangga berbondong-bondong datang meniru sekaligus mencari tips dan trik keluarga bersih dan sehat.
Mudahnya, pekerjaan apapun itu, meski ringan dan sederhana tetap memiliki nilai untung bagi si pelaku dan orang-orang di sekitarnya. Tidak ada waktu yang terbuang untuk melakukan pekerjaan yang tidak berduit. Karena setiap pekerjaan memiliki nilai manfaat dan hikmah yang berbeda-beda, yang harus kita temukan, resapi, kemudian nikmati. Tanpa beban dan menunaikannya dengan berhias senyuman.
Salam pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar