Minggu, 16 Mei 2021

Bayangan, Kejadian, dan Lebaran

Terhitung sejak saling berjabat tangan rampung sembahyang Ied, saya disodori ragam kejutan. Kejutan pertama datang dari pertanyaan kapan pulang ke Tulungagung yang kemudian memicu klimaks pada cerita lolos dari penyekatan. Saya cerita apa adanya. Bahwa bla... bla... dan bla...

Pertanyaan seperti ini wajar dialamatkan pada saya karena dua hal; Pertama baru lebaran kali ini saya bisa menghadiri shalat Ied di masjid yang jadi saksi tumbuh-kembang kenakalan saya. Karena sejak menjejak kaki di Jogja, saya selalu mudik h+1 rampung shalat dhuhur. Paginya saya keliling ke warga di sekitar MJS yang sudah menjadi keluarga baru. Sampai di rumah waktu sudah petang yang langsung disambut emak-bapak. Selanjutnya saya bergegas berkunjung silaturahmi ke tetangga.

Kedua, karena lebaran ini masih ditemani teman yang membahayakan, saya kapan saja bisa menjadi si pembawanya. Saya sadar dengan hal itu. Maka sebisa mungkin saya bersikap-bicara tenang. Toh di Jogja saya memang sehat tanpa kurang suatu apa, dan semoga sampai teman yang membahayakan ini pergi menjauh.

Nah, tapi momen yang menyentuh sentimen paling tinggi dari diri saya adalah takbir semalam suntuk di masjid. Beberapa kali saya hanya bisa menerawang jauh, membayangkan ragam kejadian beberapa tahun silam.

Seperti misal mewarnai takbiran di masjid dengan bermain playstation sampai puas. Berangkat usai berbuka, kemudian takbir di masjid menjelang tengah malam dan tertidur sesudahnya.

Pernah juga bakaran ikan berdikari. Ya berdikari. Karena memang menangkapnya dengan usaha sendiri-sendiri. Kendati membakarnya tidak selihai kontestan master cheff dan rasanya remuk redam, kami tetap menikmatinya dengan rakus dan puas. Seakan-akan itu masakan mahal dari restoran antah-berantah.

Kejadian yang paling malu-pilu adalah saat kami tertidur sampai shalat subuh rampung. Bahkan teman saya saat itu pernah bangun jam enam kurang lima menit, di saat jamaah shalat ied mulai berdatangan. Ia berjalan tergopoh-gopoh sambil mempertahankan harga dirinya yang telah mulai rontok. 

Kami juga pernah turut ambil bagian pawai oncor saat takbiran keliling desa. Rute yang siangnya sangat emoh kami tempuh dengan tapak kaki, tapi saat itu, dengan wajah bangga dan diliputi gembira bisa terjangkau. Bahkan kami merasa rutenya terlalu dekat. Padahal jika diakumulasi kurang lebih sudah dua kilometer.

Dan malam takbiran kemarin kejadian-kejadian itu saling lewat dalam bayang satu per satu. Kadang gambarannya bisa runut, tapi kerapnya berjejalan.

Salam kejadian lebaran.

Tidak ada komentar: