Bulan Ramadhan sudah berjalan dua pekan. Selama dua pekan berlalu, kita dihadapkan pada serangkaian peristiwa yang kerap jadi bahan obrolan kala bulan Ramadhan datang. Peristiwa itu juga menghangat diwicarakan di banyak kepala pada berbagai platform media sosial.
Pertama-tama ihwal toa yang diprotes karena tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Memang di hari biasa, toa difungsikan untuk mengumandangkan adzan lima waktu dan pengumuman warga yang meninggal di sekitar masjid atau mushala. Namun di bulan Ramadhan, toa memiliki jadwal lembur pekerjaan.
Di desa saya, toa di bulan Ramadhan saling bersahut-sahutan kumandang Al-Qur’an usai shalat tarawih ditunaikan. Masjid yang di utara berbunyi, yang di selatan tidak mau kalah, begitu juga yang di timur dan barat. Desa menjadi lebih hidup dan bernyawa berkat toa bersuara Al-Qur’an. Tidak peduli apakah suara itu serak, sumbang, polos, atau bernada layaknya para qari’ yang menang lomba kecamatan. Prinsipnya jika masjid atau mushala yang di sana hidup dengan bebunyian Al-Qur’an, maka yang di sini juga harus begitu.
Selain itu, setiap masjid atau mushala juga emoh jika hanya khatam sekali di bulan Ramadhan. Buntut dari itu, membaca Al-Qur’an ini bisa diejawantahkan sampai jam sebelas bahkan pernah ada yang sampai jam dua belas malam. Ya mereka berlomba-lomba dalam kebaikan sesuai dengan yang tertulis di dalam Al-Qur’an itu sendiri.
Hanya saja apa yang terjadi di desa saya ini, bisa jadi malah tidak baik jika diterapkan pada lingkungan yang berbeda. Sebagaimana banyak teori yang berkelindan dengan menempatkan Al-Qur’an sebagai bahan kajian di tengah-tengah masyarakat. Bahwa Al-Qur’an itu menjadi pedoman sampai akhir zaman, itu iya. Tapi untuk bisa seperti itu, tentu saja perlu melihat di mana Al-Qur’an itu dicecap, dibaca, dan diamalkan.
Kasus serupa juga terjadi pada penggunaan toa untuk membangunkan orang sahur. Sekali waktu saya pernah jengkel, meski di masa saya remaja juga menjadi pelakunya. Kejengkelan itu bukan karena masalah toa untuk membangunkan sahur, tapi jam yang dipilih untuk menggemakan sahur itu terlampau dini. Jarum jam masih menunjuk angka satu dini hari, tapi suara sahur sudah bersahutan. Dan setiap setengah jam berselang, suara itu kembali berbunyi nyaring.
Maka protes bahwa membaca Al-Qur’an sampai larut atau membangunkan orang sahur dengan toa itu mengganggu, saya kira sah-sah saja. Mengingat tidak semua masyarakat kita beragama muslim sekaligus memiliki kepentingan yang tidak sama. Seperti misal masjid yang berdiri di antara masyarakat non-muslim, di sekitar masjid ada anak balita, atau ada orang yang tengah sakit sehingga perlu istirahat yang cukup.
Akan tetapi yang jadi persoalan bagi saya ialah cara protesnya yang kurang tepat. Jika memang merasa terganggu, bisa langsung diutarakan pada pengurus masjid atau mushala yang bersangkutan dengan duduk bersama bersua muka. Saya kira itu lebih arif ketimbang mengunggahnya di media sosial yang malah membuat runyam duduk perkaranya.
Kenapa? Karena banyak orang di media sosial yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa kerisihan kita ihwal bunyi toa masjid atau mushola. Atau sejak awal sentimen keagamaan mereka para warganet memang sudah keras dan kasar. Atau bisa juga ada warganet yang mengelu-elukan nada Islam bergeming melalui toa. Maka pungkasnya malah banyak memicu polemik.
Nah, toa masjid atau mushola ini sebenarnya juga bisa menjadi semacam simbol yang berbhineka, tergantung dari titik mana kita memandangnya. Toa bisa jadi alat toleransi, intrumen syiar Islam di bulan Ramadhan, atau hanya sekadar perantara untuk menggemakan suara di shalat lima waktu.
Salam pengeras suara.
2 komentar:
Persis kisah di desa saya,bahkan datarus alquran saja mau di demo karena di anggab menimbulkan kebisingan.
Padahal ngajinya sampai jm 21.00.
Westo pokoknya jan ngenes.
Hehehe asal ada obrolan dulu sih mas. Selain iku juga beda daerah, beda kecenderungannya. Maka ya harus arif menyikapinya
Posting Komentar