Sabtu, 10 April 2021

Warung Kopi, Ruang Publik, dan Penilaiannya

Sebagai tempat nongkrong, warung kopi terbuka untuk disambangi siapa saja. Bisa perempuan, ibu-ibu arisan, pemuda yang berkeluh kesah karena sulit cari pekerjaan, anak usia sekolah, atau bapak-bapak yang sekadar jeda sejenak dari rutinitas pekerjaannya. Secara makna dan maksud, warung kopi memiliki nilai yang selaras dengan ajaran Islam, silaturahmi.

Kita dapat membuat janji dan bersua di warung kopi. Kita juga dapat bercuap-cuap mulai dari ala kadarnya sampai menelisik problematika hidup yang pelik tidak berkesudahan. Warung kopi menerima semuanya, tanpa tebang pilih, apalagi pilih kasih.

Hanya saja jika kita mau sedikit mengerutkan kening, kita akan mendapati bahwa warung kopi diadakan bukan hanya sebagai warung kopi itu sendiri. Warung kopi tidak pernah tampil sebagai dirinya sendiri. Warung kopi selalu ditempeli oleh anggapan-anggapan dari siapa saja, baik dari yang tidak suka ngopi sampai mereka yang setiap harinya dihabiskan nongkrong di warung kopi.

Pernah sekali waktu, saya iseng mengalamatkan pertanyaan pada teman usai secangkir kopi panas kental mendarat di meja kami. Ia saya tanya ihwal apa alasan terkuatnya untuk datang ke warung kopi, selain memang ada janji dengan seseorang. “Ya sebagai tempat untuk berkontemplasi”, tuturnya. Jawaban yang terdengar wagu.

Ia kemudian memberi terang bahwa, ketika ia datang di warung kopi, ia akan bersua dengan banyak pengalaman. Mulai dari raut wajah yang susah sampai yang bungah. Ia juga kerap tidak sengaja mendengar keluhan dari orang yang putus cinta, melihat anak bolos sekolah, dan semacamnya. Dari situ ia bisa memupuk rasa syukurnya yang jarang didapati di tempat-tempat lain.

Berbeda halnya dengan anak-anak usia sekolah dasar dan menengah. Mereka datang ke warung kopi bukan hanya sekadar untuk menghabiskan uang jajan atau lari dari kejaran pekerjaan rumah yang tidak sanggup digarap. Mereka juga tidak peduli dengan sekitar dan orang yang berlalu-lalang. Bagi mereka, asal kebutuhan bermain game online terpenuhi (wifi kencang) semua sudah beres. Mereka bisa duduk berjam-jam walau hanya pesan segelas es teh.

Pola yang hampir sama juga didapati pada usia bapak-bapak. Bedanya jika anak-anak sibuk dengan smartphonenya, bapak-bapak sibuk dengan topik obrolan yang beraneka ragam. Mulai dari tanaman, hewan ternak, Pak Marjum yang kredit mobil, anak Empok Lena yang akan nikah, sampai pada bab-bab yang saru. Nah, yang saru-saru inilah yang malah membuat nongkrong lebih enak dan tahan lama. Memang perkara saru itu bumbu. Tapi bumbu yang wajib ada.

Di Tulungagung sendiri warung kopi sudah sangat-sangat banyak ditemui. Ke mana saja mata memandang, hampir bisa dipastikan di situ ada warung kopi. Bahkan rumah yang sejatinya untuk tempat bernaung, terasnya dapat disulap menjadi warung kopi untuk nongkrong banyak orang. Belum lagi jika diakumulasi dengan banyaknya lahan yang sepuluh tahun lalu belum terlihat memberdayakan secara ekonomi, kini dengan sedikit sentuhan bangunan dan pernak-pernik secukupnya, sudah berubah menjadi tempat yang nyaman untuk ngopi.

Selain itu harganya juga ramah di kantong. Kopi susu bisa dinikmati hanya kurang dari lima ribu rupiah. Dan saya rasa menu yang ditawarkan di setiap warung kopi juga tidak mahal, kecuali memang warung kopi itu di desaign lebih apik dan diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas. Harga menunya bisa dijangkau oleh rakyat biasa sampai pejabat meruah harta.

Tapi harga murah saja tidak cukup. Pelanggan akan ramai berkunjung jika tersedia akses internet gratis (wifi). Nah, hampir semua warung kopi di Tulungagung memiliki fasilitas ini. Hanya beberapa saja yang tidak ada karena memang yang datang bapak-bapak, yang tidak perlu tahu video terbaru Atta Halilintar atau update data pembaruan game online.

Warung kopi dengan segala apa adanya memang bisa menjadi apa saja. Tergantung siapa yang memberi nilai dan sudut pandang apa yang digunakan untuk memberi penilaian itu.

Salam ngopi.

2 komentar:

Komsiyah611 mengatakan...

Warung kopi jogja dengan tulungagung ada bedanya pak sugeng?

Ahmad Sugeng Riady mengatakan...

Ada bu. Banyak bedanya.