Sabtu, 25 Desember 2021

Carik; Masa Kerajaan dan Desa

Di masyarakat desa, kita mengenal carik sebagai salah satu perangkat desa yang memiliki peran cukup sentral. Ia bertugas mengurusi sekian surat kerja dan permohonan warga. Ia juga menjadi orang yang kadang disambati, selain kepala desa dan perangkat desa lainnya. Pemahaman ini muncul berangkat dari tugas fungsional seorang carik.

Hanya saja, carik pada mulanya bukan sekadar untuk mengurusi dan membuat surat-menyurat semata. Lebih dari itu, carik adalah orang yang posisinya cukup diperhitungkan saat gerak langkah tumbuh kembang pada kerajaan Jawa Islam di masanya. Pemaknaan seperti ini baru kita peroleh saat membaca buku Jawa-Islam di Masa Kolonial (2020). Buku ini sebenarnya kumpulan naskah dari Nancy K. Florida yang ditulis pada rentang waktu antara 1987-2019 dan terbit dalam bahasa Inggris. Naskah-naskah ini akhirnya diizin-terbitkan oleh Irfan Afifi sebagai pengasuh gerak kebudayaan bernama Langgar.

Di situ carik adalah pujangga Jawa itu sendiri. Berturut-turut nama seperti R. Ng. Yasadipura I (1729-1803), R. Ng. Yasadipura II atau R. Ng. Ronggowarsito I atau R. T. Sastranegara (1756-1844), R. Ng. Ronggowarsito II (diasingkan 1828), dan R. Ng. Ronggowarsito III atau pujangga penutup (1803-1873) adalah carik atau pujangga kerajaan di masanya.

Mereka tidak hanya mengurusi surat-menyurat, namun juga mengarang sekian suluk, babad, dan kitab sebagai bagian untuk membentuk pengetahuan di masyarakat akar rumput. Bahkan sampai hari ini, wujud prasasti pengetahuannya itu beberapa masih bisa diakses, terbaca, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya rasa nama-nama di atas dapat dikategorikan sebagai intelektual di masanya. Kendati hanya sedikit sekali dari populasi masyarakat Jawa di masa kini yang menaruh perhatian pada karya adiluhung yang ditulis oleh mereka.

Selain itu, carik di masa itu lekat dengan dunia santri. Nama-nama di atas juga berangkat dari santri yang mengais ilmu di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Sekian keilmuan Islam saya rasa pernah mereka anyam dan merangsek masuk mempengaruhi cara pandang mereka terhadap keberadaan kolonial dan kondisi masyarakatnya.

Karena bekal serta ejawantahnya di masyarakat yang dinilai telah mumpuni, mereka akhirnya juga didapuk sebagai penasihat kerajaan. Ucapannya dipertimbangkan untuk mengambil-tentukan sebuah kebijakan. Sampai-sampai karena perannya yang cukup penting, seperti kasusnya R. Ng. Ronggowarsito II yang mesti dijebak oleh murid Belandanya, C. F. Winter, Sr., yang kemudian ditangkap lantas diasingkan untuk memberi jarak dan tidak turut ikut campur dalam urusan kerajaan.

Dari masa ke masa, carik memang melulu lekat dengan pemerintahan. Hanya saja dalam konteks hari ini, ruang kerja carik dipersempit berada di desa. Bahkan ruang gerak itu turut mempengaruhi kinerjanya yang ‘hanya’ mengurusi surat-menyurat. Beberapa mungkin ada juga carik yang bekerja lebih dari itu, tapi saya kira kuantitasnya tidak banyak.

Sebab kualifikasi untuk menjadi carik di antara dua masa ini juga berbeda. Di masa silam carik perlu ilmu agama Islam yang mapan, lantas memberi manfaat kepada liyan dengan memberi pengetahuan dengan membuat sekian karya, dan berposisi sebagai penasihat. Di masa sekarang, carik perlu mendaftar terlebih dahulu dan mengikuti sekian seleksi supaya bisa lolos. Mungkin jika memiliki relasi orang dalam akan lebih mudah, kendati kedalaman pengetahuan dan manfaat kehadirannya sebagai carik agak disangsikan.

Dari situ juga, kata pujangga yang melekat erat dengan kata carik, lamat-lamat mulai berjarak. Pujangga hari ini adalah mereka yang bergelut di dunia sastra: membuat puisi, cerpen, atau karya sastra lainnya. Adapun carik seperti yang telah saya sebut di atas.

Tulisan sederhana ini hanya membeberkan pergeseran kata dan makna di masa silam ke masa sekarang. Pergeseran itu ternyata juga disambut dengan peruahan realitas yang ada di masyarakat. Bisa jadi, dalam beberapa puluh tahun mendatang, kata dan makna carik itu bergeser lagi menyesuaikan derap zaman. Begitu.

Tidak ada komentar: