Senin, 10 Januari 2022

Makanan Pemberian Emak

Ada banyak peristiwa yang saya alami sejak usia belia sampai detik ini. Beberapa peristiwa itu ada yang membekas kuat di dalam ingatan, tapi ada juga yang lewat begitu saja lantas ingat di hari kemudian. Termasuk peristiwa sederhana yang saya sadari beberapa jam yang lalu: makan.

Sejak saya masih umbelen dulu, emak mesti menyuapi saya ketika makanan sudah tersedia. Saat makanan masih panas, ia mengangin-anginkan nasi supaya bisa masuk ke mulut tanpa saya merasa panas. Pun saat makanan telah dingin, emak selalu sedia memanaskannya dengan api dari kayu bakar. Keluarga kami menyebutnya pawonan.

Memasuki umur yang sudah bisa melakukan hal-hal sederhana dengan sendiri, saya tidak lagi disuapi. Kecuali ketika sakit saja.

Memang ketika saya kecil, emak saya tampil dengan dua sisinya sekaligus: malaikat dan hantu yang menakutkan. Ia menjadi malaikat saat saya peroleh kondisi yang tidak menguntungkan. Ia dengan sedia membantu tanpa perlu saya memberitahunya. Emak malah sudah tahu cara menyelesaikan persoalannya. Di situ saya melihatnya menjadi malaikat ke sebelas yang wajib saya hafal, selain sepuluh malaikat yang tertera di buku pelajaran agama Islam.

Tapi terkadang emak juga menjadi hantu ketika ia marah. Saya merasa kecil dan takut. Saya hanya bisa menurutinya dengan mengucap enggeh. Tapi ketakutan saya atas emak ini adalah wujud kasih sayangnya. Ia mungkin kala itu memberi nasihat dengan versi hantunya: kasar, membentak, dan kadang menjewer-mencubit. Toh saya tidak jera dan terus mengulanginya. Lagi dan lagi.

Menjelang remaja saya menjadi manusia yang ndablek. Saya agak bingung mendefinisikan kata ndablek ini dengan proporsional. Tapi teman-teman pembaca boleh mendefinisikan kata itu sesuai seleranya.

Biasanya saat makanan sudah tersedia, saya tidak lantas segera makan. Emak melulu menyuruh saya untuk segera makan. Tapi saya justru memilih untuk makan nanti.

Sejak saya memutuskan untuk ‘makan nanti’ sampai saya mengambil piring, nasi, dan lauk yang disediakan, emak tidak pernah berhenti untuk menyuruh saya makan. Mulanya saya merasa jengkel. Tapi lama-kelamaan saya malah berbuat nakal. Ayo mak, kuat-kuatan, batinku. Dan terang saja saya kalah. Lha wong perut saya akhirnya merasa lapar.

Masuk ke jenjang kuliah, saya dilepaskan emak dengan berat. Saya masih ingat kala peroleh pengumuman bahwa saya diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, ketakutan emak pertama kali adalah bagaimana hidup saya nanti di sana. Kami tidak memiliki sanak yang tinggal di sana. Teman-teman emak dan bapak semuanya bekerja di sawah, tidak di Yogyakarta. Ketakutan emak cukup beralasan.

Namun dengan sisa ndablek yang saya miliki, saya tetap bersikukuh untuk berangkat kuliah di sana. Meskipun bayangan saya dipenuhi oleh kejadian hidup terlunta-lunta seperti di sinetron. Tapi syukurnya, apa yang saya bayangkan setidaknya sampai hari ini belum pernah terjadi. Semoga saja sampai nanti dan nanti dan nanti lagi tidak terjadi hal-hal seperti itu.

Peristiwa emak menyuruh makan ini juga terjadi lagi saat saya pulang di musim liburan dunia perkuliahan. Saya yang biasanya di Yogyakarta lepas subuh tidur lagi, dan baru sarapan sekaligus makan siang sekitar jam 1, di rumah kebiasaan itu tidak diperbolehkan terjadi. Emak melarang saya tidur lepas subuh. Larangan yang sama juga terjadi pada sarapan jam 1 siang.

Bagi saya ini mungkin wujud amal yang bisa dilakukan oleh emak dan keluarga. Begini maksud saya, jika kebutuhan sandang, saya rasa emak tidak mungkin membelikannya. Sebab selera saya sebagai pemuda yang sedikit mengerti penampilan, akan berganti dari tahun ke tahunnya. Dan emak saya yang berjarak dengan teknologi gawai membuatnya kewalahan mengikuti perkembangan pakaian terkini.

Apalagi untuk kebutuhan papan. Bagi emak, anak laki-laki memiliki tanggung jawab memberi penghidupan yang baik untuk keluarganya kelak. Dan salah satu kriterianya adalah memberinya tempat tinggal. Terlepas itu warisan, jerih payah, atau masih ngontrak, yang pasti kebutuhan papan belum menjadi kebutuhan mendesak yang saya butuhkan. Tapi itu akan muncul saat saya telah menikah.

Nah kalau makan, selera saya sejak kecil sampai hari ini tetap sama. Menu, racikan bumbu, sajian, dan rasa yang menancap di lidah akan tetap sama. Bagi saya masakan emak menjadi masakan paling enak yang pernah saya nikmati. Dari kenikmatan itu, tubuh dan segala organ di dalamnya bisa bergerak normal dengan semangat kecintaan.

Ini mungkin terkesan lebay. Tapi saya meyakini siapa saja yang emaknya telah berpulang atau yang kini telah menjadi emak lantas tidak peroleh apresiasi dari makanannya, cerita saya di atas mungkin akan menjadi utopia semata.

Tidak ada komentar: