Selasa, 12 April 2022

Jati Diri Berliterasi di Pesantren

Sore tadi (12/04/2022) saya bersama beberapa teman memenuhi undangan ke Pesantren Budaya Kaliopak. Pesantren ini setiap bulan Ramadhan menggelar ngaji puasa selama dua pekan, dengan tema yang jarang ada di pesantren-pesantren lainnya. Ramadhan ini mereka menggait tema "Islam Berkebudayaan Jalan Aktualisasi Diri Melalui Produksi Budaya". Dan kami kebagian ngobrol tentang proses kreatif berliterasi di masjid.

Pesantren ini di bawah kendali langsung dari Kyai Jadul Maula, yang hari ini diamanahi sebagai Ketua Umum Lesbumi PBNU. Tetapi jauh sebelum itu, pesantren ini telah meneguhkan identitasnya sebagai pesantren untuk menggembleng pemuda yang tidak hanya haus dengan ilmu keislaman, tetapi juga resah dengan pencarian jati dirinya.

Di sisi lain pasca kedatangan Mas Dul kembar-begitu saya menyebutnya-pesantren ini mulai bergeliat aktif merambah ke berbagai sisi. Pameran, menerbitkan buku, diskusi bulanan bertema Jawa Islam, dan acara lainnya di tahun-tahun belakangan ini kembali mengudara. Dan mereka, begitu juga kami saling bertukar ide, diskusi, dan menjalin relasi positif untuk membuat terobosan bagi pemuda yang berada di bawah payung nahdliyin.

Sesampainya di pesantren, kami disambut oleh Mas Dul. Saya tidak bisa membedakan, karena memang keduanya hampir tidak ada tanda yang menunjukkan ini kakak atau adiknya. Kami ngobrol santai sebelum gelaran ngobrol proses kreatif literasi masjid dilangsungkan.

“Banyak mas yang ikut hari ini. Ada 25 orang. Ada yang datang jauh-jauh langsung dari Makassar, Jakarta, Tasikmalaya, dan beberapa daerah di sekitar Yogyakarta-Jawa Tengah”, kata Mas Dul.

Mas Dul menilai mereka yang ikut dalam ngaji puasa di pesantren ini memang benar-benar telah meniatkan diri. Pasalnya selama dua pekan penuh, mereka dimestikan untuk meninggalkan segala aktivitasnya dan fokus pada kegiatan yang telah dirancang di pesantren tersebut.

Mereka yang ikut dalam ngaji puasa ini rata-rata seumuran dengan saya. Jiwa muda yang memiliki banyak idealisme, daya kreatif, namun mungkin belum menemukan wadah yang proporsional untuk bergerak.

Di awal Mas Wahid yang jadi direktur literasi masjid memberi beberapa tips dan cerita tentang gerak laju komunitas. Paparannya yang sederhana dan apa adanya, memicu banyak peserta untuk mengemukakan pertanyaan. Diskusi berlangsung menarik.

Saya sendiri kebagian agak belakangan. “Ini tips yang bisa ditanamkan pada teman-teman. Bisa untuk menaikkan kapasitas diri sendiri maupun untuk komunitas. Tipsnya sederhana”, kata saya. Wajah mereka penasaran yang menduga saya akan berbicara hal-hal berbobot, melangit, dan berjejal nasihat kearifan. Mereka memasang raut yang serius.

“Kalau punya ide, silahkan dilakukan saja. Anggap saja itu sebagai eksperimentasi, coba-coba. Kalau dalam jangka waktu tiga bulan kemudian gagal, ya dicoba lagi. Kalau gagal, di coba lagi. Kok tiga bulan selanjutnya berhasil, ya udah diterusin. Namanya kan mencoba, kalau gagal dicoba lagi, kalau berhasil ya dilanjutin. Ini kalau orang Jawa nyebutnya ngeyel di jalan yang benar”, tutur berdasarkan pengalaman saya. Mendengar itu, mereka semua tertawa.

Ngobrol pun dipungkasi menjelang kumandang adzan mahgrib. Kami berbuka dan menunaikan sembahyang bersama. Setelahnya, kami dengan Mas Dul kembar banyak mengudar cerita dan melempar ide.

Saya belum berani bercerita di sini, karena belum kami eksekusi. Kami semua masih menunggu izin dari Kyai Jadul Maula, weton yang baik, doa pembaca, dan dukungan semesta. Begitu secuil cerita sore ini.

Tidak ada komentar: