"Jane opo egak ngesne tanganku?", tukas orang yang di depan. Ia dipasrahi sebagai komando laden, sebutan untuk orang yang datang membantu dalam acara pernikahan. Setiap kali ada tamu datang, ia teriak sesuai dengan tangan yang diangkat ke laden.
"Lek misal tamune 5, laden seng metu ki ya ojo cuma nggowo 3. Seng gowo 2 dienteni. Men orak isin", tambahnya.
Salah satu kejadian lumrah di pernikahan. Omelan, guyonan, dan tentu saja topik saru-seru mengalir mengabaikan pakaian agama yang dikenakan.
***
"Batur manten wis tekan. Gek podo siyap!", teriak komando laden.
Dalam hitungan detik, semua laden yang tadinya asyik guyonan, ngudud, dan berpakaian agama geragapan berdiri. Masing-masing tangan sudah sedia nampan. Beberapa ada yang sibuk memindahkan hidangan dan es ke nampan. Setelah ada aba-aba, semua keluar keringat dengan kesibukannya sendiri-sendiri.
Mereka yang hanya duduk emoh melakukan apa pun, tanpa diminta dan dimohon, akan menyisih sendiri. Pelan-pelan terabaikan. Dan barangkali, EO pernikahan di desa yang kerjanya tanpa kontrak, bayaran tidak seberapa, tetapi mengandalkan rasa sungkan dan tidak enakan menjadi EO yang tanpa banding dan tanding.
"Ya ewang-ewang lah. Sok nk wis nikah ya men genti diewangi", kata teman saya. Logika orang kota, ucapan semacam ini disebut pamrih. Tapi logika orang desa didasarkan pada rasa sungkan dan tidak enakan itu tadi.
6 komentar:
Laden bukan sekadar membantu tetapi juga solidaritas, kebersamaan, dan spiritualitas.
Wah niki mas sugeng critane mudik kalih rewang, kulo gih siap lo rewang dateng acarane jenengan....
Leres pak ...
Waduh, hehehe
Pak Sugeng bersiaplah rewang kerumah saya, NG LADEN I mustami'in pemberi TAUSIYAH he he.
Siyap bu ...
Posting Komentar