"Puenak yo dadi sapi. Isuk wis didusi, pakan wis disuguhi. Ngombe dijumukno. Mulyo temenan dadi sapi ki", tutur tetangga saya yang rumahnya berdekatan.
Karena itu, mafhum jika segala aktivitas yang kami tunaikan mereka ketahui. Dan barangkali juga tidak luput dari krasak-krusuk obrolan di antara keluarga mereka. Semoga saja obrolan yang baik-baik. Kami biasa saja.Bapak dan emak sejak dulu, bahkan sampai sekarang melulu mengajarkan saya dan mas saya bahwa, setiap manusia itu berbeda. Begitu pula tetangga dekat-jauh kami. Mereka memiliki watak yang tidak sama.
Ajaran itu baru peroleh bentuk ilmiahnya ketika saya menekuni keilmuan sosiologi dengan serius. Ada sekian teori yang berbicara tentang manusia dalam wadah besar, masyarakat. Mereka tidak seragam meski serupa; identitas, afiliasi, desanya, bahkan RT/RW sekalipun.
Hal ini ditengarahi karena tiap manusia punya kepentingan yang berbeda, latar belakang yang beragam, dan tentu saja keluarga sebagai pembentuk kualitas person di kehidupan awal yang tidak sama.
Barangkali karena kesadaran kecil semacam inilah, Mpu Tantular dalam kitabnya Sutasoma menulis 'Bhineka Tunggal Ika'. Kalimat itu terbukti ampuh menyatukan keragaman yang ada. Tidak hanya keragaman dalam konteks kecil, tapi bhineka dari Sabang sampai Merauke masih terkondisikan dalam bingkai satu-kesatuan.
"Enggeh puenak. Tapi opo yo gelem uwong dicencang nang kandang kados sapi?", jawab bapak saya. Jawaban bernada tanya yang saya rasa memberi pukulan telak pada pernyataan 'penake dadi sapi'. Sekian ...
2 komentar:
Saudara sekandung pun tdk sama. Masing2 juga memiliki karakter dan tujuan hidup yg berbeda. Yg pnting bisa saling memahami dan menghargai.
Enggeh leres ...
Posting Komentar