Sekira 77 tahun yang lalu, tokoh di negeri ini mengambil keputusan penting. Sebelumnya mereka saling duduk bersama, bertukar pendapat, melempar argumen untuk mencapai kata mufakat. Bahkan tahun-tahun sebelumnya lagi, jiwa dan harta dari banyak manusia di negeri ini mesti diikhlaskan raib di tangan kolonial.
Di banyak buku pelajaran, film dokumenter, artikel ilmiah dan populer, maupun riset akademis mesti kita temui sekian narasi tentang jalannya kemerdekaan negeri ini. Memang ada banyak data sejarah yang lamat-lamat ditemukan. Beberapa ada yang menguatkan, tapi tidak sedikit juga yang dianulir lantas dinarasikan dengan temuan data baru.
Kendati demikian, kita bisa menarik benang merah ihwal figur yang berperan, lokasi, serta kepentingan yang diusung: Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang dibayar mahal dengan melalui jalan terjal.
Saya menggarisbawahi narasi penting sehubungan dengan malam menjelang kemerdekaan.
Begini, tentu kita masih ingat peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa yang ditengarahi adanya beda pandangan antara kaum muda dan tua.
Kaum muda yang diwakili Syudanco Singgih, Yusuf Kunto, Sukarni, Syudanco Subeno, dan Iwa Kusumasumantri menginginkan kemerdekaan segera diproklamirkan. Mereka menilai pihak Jepang tidak berdaya dan momentum tersebut mesti dimanfaatkan.
Sementara itu, kaum tua seperti Soekarno, Moh. Hatta dan Ahmad Soebardjo menolak pandangan tersebut. Bagi mereka, kemerdekaan merupakan momen krusial yang mesti dipersiapkan dengan matang, tidak grusa-grusu.
Dua pendapat yang terjadi 77 tahun silam ini pada akhirnya ditunaikan dengan wujud Proklamasi Kemerdekaan. Momen yang menandai bebasnya negeri ini dari kepungan kolonial. Meskipun, di tahun-tahun sesudahnya pertempuran dan diskusi alot masih saja terjadi.
Tapi setidaknya peristiwa itu menjadi pengingat bagi saya dan siapa saja yang masih merasa muda. Bahwa dulu, dengan piranti seadanya dan ala kadarnya, mereka kaum muda berani bergerak menentukan jalannya negeri ini.
Kita bisa membayangkan bila dulu, kaum muda tidak mendesak kaum tua untuk segera memproklamirkan kemerdekaan, bisa jadi kemerdekaan negeri ini jatuhnya tidak ditanggal 17 Agustus 1945.
Mungkin mundur sehari, dua hari, atau malah berbulan-bulan kemudian. Dari sini saya rasa pentingnya gerak pemuda. Pemuda yang menolak ambruk meski berada dalam kondisi yang terpuruk sekalipun.
Terakhir kita bisa memberi jeda memanjatkan doa untuk mereka pejuang bangsa. Al-fatihah ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar