Di masyarakat Jawa seperti halnya kampung kami, ada banyak makna yang terselip pada setiap kejadian alam semesta. Misal paling mudah bisa ditemukan saat hujan kemarin, sekira dua harian tanpa jeda. Gerimis-hujan deras, gerimis-hujan deras.
Sampai-sampai di beberapa tempat kedapatan air sungai meluap lantas banjir, cucian tidak kering, dan tentu saja bingung-pasrah bagi mereka yang menafkahi keluarganya dengan menjaja makanan di pasar dan sayur keliling, bakul etek kami menyebutnya.
"Padahal wukune lagi watugunung, uduk sinto, kok udane ngrecih wae", sambat seorang bapak yang tidak sengaja saya dengar di warung kopi.
Memang untuk menandai kejadian alam seperti hujan, masyarakat di kampung saya, utamanya yang berusia 45-an tahun ke atas, tidak hanya menggunakan batas keilmuan geografi: 6 bulan kemarau, 6 bulannya lagi musim penghujan.
Tetapi mulai dari wuku, weton, dan hari digunakan untuk memaknai kejadian alam. Saya rasa ini bukan berdasarkan epistemologi yang ngawur. Kenapa? Sebab mereka mengalami lantas memaknainya berdasarkan hal itu. Metodenya malah observasi full partisipant, bukan mitos atau legenda.
"Lha iya, kudune udan ki cebloke minggu ngarep. Minggu iki paling mek mendang-mendung", timpal bapak lainnya.
Minggu depan wukunya sinto. Kenapa wuku sinto ditandai sebagai pekan hujan? Karena Dewi Sinto saat itu nangis lantaran: ada yang mengatakan dipukul dengan entong, ada juga yang mengatakan ia menikahi seseorang yang belakangan diketahui sebagai anaknya sendiri. Saya belum menemukan referensi induk ihwal ini, semoga secepatnya.
Maka dari itu, wuku sinto tidak digunakan oleh masyarakat kampung saya untuk menggelar hajatan. Apapun itu. Bukan masalah klenik dan semacamnya. Tetapi untuk menghindari hujan berkepanjangan yang nantinya akan menyusahkan si punya hajat.
Kalau mau mengadakan? Ya monggo, silahkan.
"Ancen saiki jagad (alam semestane) wis bubrah (rusak) kabeh. Makane ora iso ditentokne karo wuku", timpal bapak lainnya.
Ya, bapak-bapak yang duduk di warung kopi itu hanya sekelompok kecil yang menyadari perubahan pola semesta. Tetapi tidak tahu sejauh mana kerusakannya, dan tentu saja tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan kerusakan alam yang membabi buta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar