Ramadhan di tahun ini rasanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan bisa dikatakan terlampau jauh berbeda dengan tahun sebelum pandemi datang memaksa sekian peribadatan untuk jeda. Beda tahun, beda rasa ramadhannya.
Tetapi perbedaan itu tidak lantas mempengaruhi nilai ibadah beserta pahala yang didapatkan. Sekian hadis, kitab, dan kalam ulama belum ada (mungkin memang tidak akan) yang merevisi pahala dari ibadah tertentu. Saya kira, kita semua termasuk hamba yang beribadah tidak hanya dari besarnya pahala yang didapat. Tapi lebih dalam memaknainya.
Lantaran tahun ini bukan kali pertama kita memasuki Bulan Ramadhan. Pun berpuasa dengan laku khusyuk karena tertidur dan lupa sahur, semangat salat tarawih di awal ramadhan, serta mengenakan pakaian baru saat hari Idul Fitri telah lazim kita tunaikan di ramadhan-ramadhan sebelumnya.
Maka dari itu, saya rasa sudah semestinya kita mengetuk pintu Bulan Ramadhan tahun ini dengan didahului ujaran syukur. Setelahnya, lantas menunaikan ramadhan dengan gembiran dan kesadaran sebagai manusia, sebagai hamba.
Seperti halnya Kang Pardi (nama samaran) yang memaksa dirinya sumringah dengan datangnya Bulan Ramadhan. Bukan karena tidak memiliki kecukupan finansial untuk mengarungi ramadhan sampai nanti bersua di hari fitri. Bukan juga lantaran ditinggal mendiang orang-orang terdekatnya menghadap Maha Pencipta. Tetapi karena dirinya merasa malu pada kualitas dirinya yang masih diberi kesempatan untuk bersua kembali dengan Bulan Ramadhan.
“Saya ini bingung mas. Bukan bingung, tepatnya malu mas”, ujarnya sembari menyesap rokok di tangannya.
Saya yang menjadi lawan bicaranya tambah bingung lagi harus melempar tanya seperti apa. Saya memilih diam dan mendengarkan penuturannya sampai rampung.
“Lha wong ramadhan kemarin mas, saya ini puasanya bolong-bolong. Apalagi tarawihnya, wis embohlah. Tapi alhamdulillahnya mas, kalau zakat saya mesti bayar. Masak ya puasanya egak karu-karuan, tarawihnya emboh, zakatnya juga bablas. Tetapi ya itu mas, Allah kok masih menemukan saya dengan Bulan Ramadhan ya?”
Ucapan yang membuat saya mematung beberapa saat. “La nggih duko pak, pun dilakoni mawon”, ujar saya yang kehabisan kalimat bermuatan nasehat.
Setelahnya kami bercuap sekenanya. Tentu saja dengan Kang Pardi sebagai pembuka obrolan, dan saya sebagai pendengar yang lamat-lamat mencerna logika sederhananya. Sepulang bersua dengan Kang Pardi yang tidak disengaja itu tadi, saya hanya bisa membatin “Oh, iya ya”... dan “Oh, iya ya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar